KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM
BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia adalah Negara hukum,
dimana setiap tindakan yang dilakukan manusia semuanya bersifat mengikat dan
berlabel suatu perbuatan hukum. Baik itu masyarakat secara umum, pejabat,
maupun aparatur pemerintah selama masih berada didalam suatu Negara pasti terikat
dengan hukum. Karena Negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari
sebuah konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah hukum.
Cita-cita filsafat yang telah di
rumuskan para pendiri kenegaraan dalam konsep “Indonesia adalah Negara Hukum”
mengandung arti bahwa dalam hukum, antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan tunduk
pada hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat.[1]
Oleh karena itu adanya sebuah konstitusi dalam suatu Negara merupakan pagar dan
pembatas bagi seluruh warga khususnya Indonesia untuk mengontrol dan
mengendalikan perilaku mereka agar tidak menyimpang dari ketentuan yang telah
ditetapkan.
Terbentuknya sebuah Negara hukum yang
berdaulat tidak dapat terealisasi dengan baik tanpa adanya peran yang
responsive baik dari pemerintah maupun para penegak hukum yang ada di
Indonesia.
Berbicara mengenai para penegak
hukum, penegak hukum adalah seorang pejabat/perorangan yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengendalikan kejahatan, sengketa dan lain-lain yang
bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian yang ada
dalam suatu Negara. Para penegak hukum ini terdiri dari lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.[2]
Penegak hukum juga merupakan
instrument yang penting untuk mewujudkan keadilan yang ada di Indonesia,
meskipun keadilan yang kita kenal saat ini masih bersifat abstrak. Para penegak
hukum disini tidak serta merta lahir dengan sendirinya, menjadi berkualitas dan
profesional dengan sendirinya melainkan ada tahapan ataupun wadah-wadah yang
memang menampung Sumber Daya Manusia (SDM) agar menjadi kader-kader yang ahli dalam
hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Wadah inilah yang dinamakan
dengan pendidikan Tinggi Hukum.
Pendidikan Tinggi adalah sebuah lembaga pendidikan yang pada
umumnya bertujuan untuk menghasilkan kader-kader yang mandiri, sebagai pemecah
masalah, dan sebagai pelopor untuk memajukan sebuah peradaban. Sedangkan pendidikan
tinggi hukum pada dasarnya mencakup upaya penguasaan disiplin hukum, teknologi
maupun keterampilan hukum. Jadi selain mendidik para kadernya untuk menjadi
penerus bangsa yang mandiri, pemecah masalah dan sebagai pelopor, pendidikan
ini juga memberikan kontribusi kepada para kadernya agar menjadi sumber daya
yang paham tentang hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Pendidikan
inilah yang akhirnya akan melahirkan sebuah lulusan dan menyandang gelar
sebagai Sarjana Hukum.
Sarjana hukum adalah orang yang
telah menyelesaikan pendidikan di fakultas hukum. Sarjana hukum berhak untuk
menjadi hakim, jaksa, berprofesi bebas seperti advokat karena, sarjana hukum
merupakan sumber daya manusia yang memang diasah dan dicetak untuk menjadi seorang
pakar hukum di setiap lingkungan lembaga hukum yang ada di Indonesia. Selain
itu para sarjana hukum juga dibekali dengan kemampuan mereka baik secara teori,
ruang lingkup pembahasan yang begitu mendalam baik dari segi hukum Nasional
maupun Internasional, studi lapangan berupa praktek dalam mengatasi suatu
perkara, bobot Satuan Kredit Semester (SKS) yang mereka ampu, kemudian pengampu
(dosen) mata kuliah yang berkenaan memang di filter dari Sumber Tenaga Pengampu
yang Profesional.[3]
Tetapi,
perlu kita ketahui bahwa di Indonesia tidak hanya sarjana hukum saja yang ahli
dalam bidang hukum dan berkesempatan untuk menjadi seorang ahli hukum
dilingkungan lembaga hukum, melainkan ada Sarjana Hukum Islam yang juga ahli di
bidang hukum. Akan tetapi adanya Sarjana Hukum Islam ini seperti dipandang
sebelah mata oleh pemerintah. Mengapa demikian? Pengadilan Agama memberi
kesempatan kepada Sarjana Hukum untuk menjadi hakim selama mereka memiliki
kemampuan dan memenuhi kriteria untuk menjadi seorang hakim. Tetapi mengapa
dalam peradilan umum Undang-Undang hanya membatasi pada sarjana hukum saja?
Bagaimana KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM Studi Komparasi
Kompetensi Fakultas Syariah Iain Jember Dengan Kompetensi Fakultas Hukum
Universitas Jember? Kemudian bagaimana perbandingan antara KOMPETENSI SARJANA
HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM Studi Komparasi Kompetensi Fakultas Syariah Iain
Jember Dengan Kompetensi Fakultas Hukum Universitas Jember? Padahal secara yuridis konstitusi telah
mengakui dan menegaskan dalam pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang 1945 bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di muka Hukum”[4]
Persamaan di depan hukum (equality
before of the law) dapat di nikmati oleh masyarakat khususnya Sarjana Hukum
Islam apabila terealisasi dengan baik. Karena kedudukan antara Sarjana Hukum
Maupun Sarjana Hukum Islam sejajar di mata hukum. Berdasarkan uraian tersebut,
maka penulis merasa perlu mengkaji atau membahas lebih lanjut dalam sebuah
karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul
“KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM Studi Komparasi
Kompetensi Fakultas Syariah Iain Jember Dengan Kompetensi Fakultas Hukum
Universitas Jember”
B.
FOKUS
PENELITIAN
Dari uraian latar belakang di atas
merupakan suatu permasalahan, di mana dari permasalahan di atas akan diteliti
agar menjadi lebih jelas dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu
disusun fokus penelitian.
Adapun
hal-hal yang menjadi Fokus Penelitian ialah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kompetensi Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah Institute Agama Islam Negeri
Jember?
2.
Bagaimana
kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember?
3.
Bagaimana
perbandingan kompetensi Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah Institute Agama
Islam Negeri Jember dan kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Jember?
C.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian merupakan gambaran
tentang arah yang akan dituju dalam melakukan penelitian. Tujuan penelitian
harus mengacu dan konsisten dengan masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah.[5]
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1.
Untuk
mengetahui kompetensi Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah Institute Agama
Islam Negeri Jember.
2.
Untuk
mengetahui kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember.
3.
Untuk
menganalisa perbandingan kompetensi di Fakultas Syariah Institute Agama Islam
Negeri Jember dan kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember
D.
MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian diharapkan dapat
memiliki manfaat. Manfaat penelitian berisi tentang kontribusi apa yang akan
diberikan setelah selesai melakukan penelitian. Kegunaan dapat berupa kegunaan
yang bersifat teoritis dan kegunaan praktis.[6]
Adapun manfaat penelitian ini antara
lain:
1.
Manfaat
Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pengetahuan dan mendobrak cara berfikir
pemerintah dalam memandang para Sarjana Hukum Islam demi kemajuan dan pengembangan potensi sumber
daya manusia serta ilmu pengetahuan, khususnya mengenai KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM
a) Bagi peneliti, yakni sebagai tambahan pengetahuan tentang dunia Hukum
khususnya mengenai KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN
SARJANA HUKUM
b) Bagi lembaga legislasi (DPR) ,yakni sebagai bentuk kontribusi dan
bahan evaluasi bagi lembaga legislasi bahwa sarjana hukum islam layak
diperhitungkan kemampuannya untuk memiliki hak yang sama sebagaimana sarjana
hukum.
c) Bagi lembaga IAIN Jember, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi tambahan literatur atau referensi untuk melengkapi kepustakaan yang
berkaitan dengan Kompetensi sarjana Hukum Islam.
E.
DEFINISI ISTILAH
Penggunaan
judul oleh peneliti tidak menutup kemungkinan akan memunculkan berbagai tafsir
oleh pembaca. Dari berbagai tafsir maka akan muncul pemahaman terhadap tulisan
yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan penegasan dalam judul merupakan gambaran
awal yang diperoleh pembaca. Sehingga peneliti perlu untuk mendefinisikan
beberapa istilah dalam judul tersebut, sebagai berikut
1. Kompetensi : Kompetensi sebagaimana dikutip oleh
Mulyasa dari Mc. Aschan adalah …”is a knowledge, skills and abilities or capabilities
that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he
or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and
psychomotor behaviours.” Dengan
demikian kompetensi berarti pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang
dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia
dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan
sebaik-baiknya.[7]
2. Sarjana Hukum Islam : Sarjana Hukum Islam adalah para
akademisi yang telah menyelesaikan proses belajar selama kurang-lebih 4 tahun.
Dan wujud dari hasil belajar yang mereka tempuh ialah berupa gelar akademik
yang di berikan pemerintah kepada para sarjana Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum
Keluarga), Muamalah (Hukum Ekonomi Islam), Jinayah (Hukum Pidana Islam),
Siyasah (Hukum Tata Negara) dan
lain-lain yang tercover di dalamnya.
3. Sarjana Hukum :
Sarjana hukum adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan di fakultas
hukum. Sarjana hukum juga di anggap sebagai seorang ahli yang memahami semua
hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Sarjana hukum juga mempunyai
peluang untuk menjadi jaksa, pengacara, hakim, konsultan hukum, notaries dan
seterusnya apabila syarat-syarat yang telah di tentukan sudah terpenuhi.[8]
F.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar penulisan skripsi ini dapat
terarah dengan baik dan sistematis, dibutuhkan sistem penulisan yang baik.
Dimana peneliti akan menguraikan secara menyeluruh dari hasil penelitian ini
secara sistematis.
Dalam penulisan proposal Skripsi ini
Peneliti merujuk pada tekhnik Penulisan yang ada pada buku “ Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah” tahun 2014 IAIN Jember dengan tujuan agar tekhnik penulisan dalam
Skripsi ini dapat memenuhi persyaratan penulisan yang baik dalam membuat suatu
tulisan ilmiah.
Dalam Skripsi ini,
sistematika pembahasan
merupakan gambaran singkat dan urutan antar bab dari Skripsi, yang dirumuskan
secara berurutan dari bab per bab, dengan tujuan agar pembaca dapat mudah dan
cepat memahami Skripsi.
Dalam pedoman penulisan
karya ilmiah, Skripsi nanti akan terdiri lima bab, yang diawali dengan halaman
judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, motto, kata pengantar,
abstraksi, daftar isi, yang dilanjutkan dengan bab I sampai dengan bab V
Adapun sistematika penulisannya
adalah sebagai berikut:
Bab satu pendahuluan, pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
fokus kajian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi istilah.
Sistematika penulisan ini untuk mendiskripsikan atau menggambarkan kerangka
dari skripsi ini.
Bab dua kajian kepustakaan, berisi tentang penelitian terdahulu, dan
kajian teori yang diteliti oleh peneliti. Pertama, penelitian terdahulu
berisi tentang hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang
hendak dilakukan, kemudian membuat ringkasannya, baik penelitian yang sudah
terpublikasi atau belum terpublikasikan. Dengan melakukan penelitian terdahulu
ini maka dapat dilihat sejauh mana originalitas dari posisi penelitian yang
hendak dilakukan. Kedua, kajian teori yaitu berisi tentang teori-teori
yang dijadikan sebagai perspektif dalam penelitian. Dalam hal ini menyajikan
tentang landasan teori. Adapun landasan teorinya terdiri dari Sarjana hokum
islam, sarjana hokum, kompetensi sarjana hokum islam, kompetensi sarjna hokum,
kurikulum sarjana hokum islam, kurikulum sarjana hokum, dan seterusnya yang
berkaitan dengan judul skripsi yang telah dibuat oleh peneliti.
Bab tiga pembahasan berisi tentang gagasan pokok dari peneliti, diteruskan
dengan kajian mendalam guna menganalisa dan menemukan pemecahan masalah yang
diangkat oleh peneliti.
Bab empat berisi tentang penyajian data dan analisis data yang
terdiri dari gambaran obyek penelitian, penyajian data dan pembahasan temuan
penelitian.
Bab lima
yang terdiri
dari kesimpulan dan saran, bab ini merupakan akhir dari penulisan karya ilmiah
dan merupakan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Dan sebagai
akhir dari penelitian ini ditutup dengan saran-saran yang ditujukan kepada pemerintah
BAB
II KAJIAN KEPUSTKAAN
A.
PENELITIAN TERDAHULU
Dengan melakukan langkah penelitian sebelumnya atau terdahulu ini,
di harapkan akan dapat dilihat sejauh mana keabsahan dan posisi peneliti yang
akan di lakukan. Beberapa penelitian yang memiliki hubungan dengan permasalahan
yang dikembangkan peneliti antara lain:
a) Skripsi Nasokah Mahasiswa
IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 2002, dengan Judul Eksisitensi Sarjana Syariah
Sebagai Pengacara di Pengadilan Agama
b) Skripsi Abdul Rohman Lubis Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006, dengan Judul Tantangan Sarjana Hukum
Islam Menjadi Advokat Menurut Undang-Undang No 18 Tahun 2003
a) Yusdani, Jurnal Al-Mawarid Edisi XII
Tahun 2004 dengan judul Posisi Tawar Sarjana Syariah Menurut Undang-Undang
Advokat.
b)
Jurnal
Hukum Fairuz Sabiq, Andi Mardian, Diana Zuhroh, Aris Widodo, dengan Judul Pengembangan Kurikulum Prodi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Ke Arah Kompetensi Syariah Dan Kebutuhan Masyarakat.
Persamaan penelitian terdahulu ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah baik jurnal maupun skripsi ini sama-sama
mengakaji tentang kurikulum dan konpetensi yang dimiliki oleh sarjana syariah
yang berada dalam naungan fakultas syariah. Perbedaannya, penenlitian terdahulu
ini hanya berfokus pada kompetensi sarjana syariah saja tanpa membandingkan
kompetensi maupun kurikulum antara fakultas syariah dengan fakultas hukum pada
umumnya. Padahal secara kompetensi tidak jauh berbeda dengan fakultas hukum
secara umum.
B.
KAJIAN TEORI
1.
Sarjana Hukum
Sarjana hukum adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan di
fakultas hukum. Sarjana hukum juga di anggap sebagai seorang ahli yang memahami
semua hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Sarjana hukum juga mempunyai
peluang untuk menjadi jaksa, pengacara, hakim, konsultan hukum, notaries dan
seterusnya apabila syarat-syarat yang telah di tentukan sudah terpenuhi.[9]
Gelar sarjana hukum ini merupakan salah satu syarat yang paling
penting dan sangat menentukan bagi perjalanan karir seseorang. Selain itu
predikat Sarjana Hukum yang kita kenal dewasa ini adalah hasil pendidikan
di dalam lingkungan perguruan tinggi yang telah mengalami reformasi atau
pembaharuan sejak berdirinya konsporium ilmu hokum.[10]
L. Michael Hagger menggambarkan, bahwa jalannya suatu sistem hukum
tidak akan pernah lebih baik dari mereka yang menjalankannya, seperti Sarjana
Hukum. Hal ini disebabkan Sarjana Hukum adalah tonggak yang berperan
menjalankan hukum bukan hanya berdasarkan cara berpikirnya sendiri, tetapi
berasal dari pendidikan yang diperolehnya dari kuliah semasa di Fakultas Hukum.[11]
Di
Indonesia, profesi hukum dapat terbagi ke dalam 4 (empat) profesi, yaitu:
Hakim, Jaksa, Penasihat Hukum dan Notaris, ditambah lagi dengan penegak hukum
polisi. Hakim bertugas untuk menyelesaikan konflik yang memerlukan campur
tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian secara tidak memihak yakni
lembaga peradilan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian, dan
memberikan keputusan terhadap konflik. Wewenang tersebut disebut dengan
"Kekuasaan Kehakiman" dimana di dalam praktik dilaksanakan oleh
hakim. Profesi hakim diatur oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum terhadap pelanggar hukum
pidana dimuka pengadilan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
Profesi Jaksa diatur oleh UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.[12]
2.
Sarjana Hukum Islam
Sarjana Hukum Islam adalah para akademisi yang telah menyelesaikan
proses belajar selama kurang-lebih 4 tahun. Dan wujud dari hasil belajar yang
mereka tempuh ialah berupa gelar akademik yang di berikan pemerintah kepada
para sarjana Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga), Muamalah (Hukum Ekonomi
Islam), Jinayah (Hukum Pidana Islam), Siyasah (Hukum Tata Negara) dan lain-lain yang tercover di
dalamnya.
Sarjana Hukum Islam kerap disapa dengan
sarjana syariah. Sarjana syariah adalah sarjana hukum sama seperti sarjana hukum
lainnya, bahkan dapat dikatakan sarjana syariah merupakan sarjana hukum plus.
Disamping menguasai hukum secara umum atau yang biasa kita sebut dengan hukum
positif, Sarjana syariah juga menguasai hukum islam dan belum tentu sarjana hukum
secara umumnya menguasai tentang hukum islam.
Sekalipun sarjana hokum islam memiliki
kompetensi yang tidak jauh berbeda dengan sarjana hukum pada umumnya, akan tetapi
keberadaannya masih dipandang sebelah mata baik bagi para pemerintah maupun
undang-undang itu sendiri. Mengapa demikian? Karena secara eksternal sarjana
syariah masih dihadapkan pada masalah pengaburan persepsi syariah sebagai hokum
yang telah lama di rekayasa selama berabad-abad oleh pemerintah Kolonial
Belanda.[13]
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum Pemerintah Hindia
Belanda pada mulanya tidak ingin mengganggu masalah agama (hukum) penduduk
pribumi. Bahkan penjajah Belanda cenderung bersikap kompromistis dan memberikan
sarana bagi pengakuanhukum Islam di kalangan penduduk. Berdasarkan kebijakan
politik ini, Mason menyimpulkan
bahwa Belanda juga memberi kontribusi bagi perkembanganhukum Islam di Jawa,
umumnya Indonesia, denganmempromosikan karya-karya hukum fikih ulama klasik dan
pertengahan dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam sistem peradilan
Islam.[14] Meskipun secara asumtif dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut tidak
terlepas dari motif imperialisme dan kolonialisme Belanda, yang jelas
pelembagaan hukum Islam dan pengakuan oleh Belanda semakin memperkukuh kedudukan
hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
Namun, memasuki pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda
mulai berusaha keras mencampuri urusan keagamaan penduduk pribumi. Perubahan
kebijakan ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di
negeri Belanda maupun di wilayah jajahan Hindia Belanda. Harry J. Benda
menyebutkan bahwa orangorang Belanda di negeri Belanda sendiri maupun di
Indonesia mengharapkan supaya pengaruh Islam di daerah jajahannya dihilangkan
dengan mempercepat Kristenisasi sebagian besar orang Indonesia. Ini didasarkan pada
anggapan orang Barat tentang superioritas ajaran Kristen atas Islam Karena itu,
Belanda kemudian membutuhkan politik hukum yang dapat melemahkan posisi Islam
bagi umatnya. Ini menandai fase kedua dari politik hukum
Islam Belanda terhadap negeri jajahan mereka.
Perubahan politik ini lebih jelas terlihat pada Keputusan
Raja tanggal 4 Februari 1859 No. 78 yang membenarkan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda mencampuri
masalah agama dan mengawasi setiap gerak-gerik
para ulama, bila dipandang perlu, demi kepentingan
ketertiban dan keamanan.10 Belanda pun pada 1889
mendatangkan dan mengangkat seorang ahli Islam
bemama Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
sebagai penasihat pemerintah penjajah Belanda.
Hurgronje mulai mengkritik pandanganpandangan Van den Berg
sebelumnya. Selama tujuh belas tahun berada di Indonesia (1889-1906), Snouck Hurgronje
melakukan pelbagai penyelidikan terhadap masyarakat Aceh
dan beberapa daerah lainnya di Indonesia seperti Batavia dan Banten. Dialah yangpertama kali
merintis ilmu hukum adat Indonesia yang kemudian
ditemukan secara “ilmiah” oleh penerusnya Van
Vollenhoven.11 Dia pula sarjana Belanda yang kali pertama
mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam.[15]
Inilah penyebab mengapa sampai saat ini
pemerintah masih mengenyampingkan eksistensi para Sarjana Syariah dengan Sarjana
Hukum pada umumnya.
3. Kompetensi Sarjana Hukum
Kompetensi sebagaimana dikutip oleh
Mulyasa dari Mc. Aschan adalah …”is a knowledge, skills and abilities or capabilities
that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he
or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and
psychomotor behaviours.” Dengan
demikian kompetensi berarti pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang
dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia
dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan
sebaik-baiknya.[16]
Kompetensi Sarjana
hukum adalah kemampuan atau keahlian yang menonjol yang dimiliki oleh para
sarjana hukum yang telah menyelesaikan proses pendidikannya selama menempuh
pendidikan hukum di pendidikan tinggi hukum. Selain ahli dari segi teori maupun
penerapannya, sarjana hukum juga memiliki peluang untuk meniti karirnya di
kejaksaan (menjadi jaksa), di pengadilan (menjadi hakim maupun panitera),
diberbagai departemen atau pemerintahan daerah, di Fakultas hukum (menjadi
dosen), terjun ke dunia swasta menjadi pengacara, notaries, karyawan, atau
penasihat hukum perusahaan-perusahaan.[17]
Berdasarkan hal-hal yang telah Penulis jabarkan diatas, sebenarnya
Sarjana Hukum tidak hanya dapat meniti karir di pasar Nasional saja, melainkan pasar
kerja Internasional juga terbuka bagi Sarjana Hukum yang cukup luas dan banyak
jumlahnya. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pasar
kerja internasional tidak selalu mudah ditembus oleh Sarjana Hukum. Dalam hal
profesi Advokat, sebagian besar negara di dunia mengatur bahwa hanya warga
negara tersebut yang dapat menjadi Advokat. Warga negara asing hanya dapat
menjadi konsultan hukum pada firma-firma hukum di negara tersebut. Selain itu Sarjana Hukum juga dapat berprofesi sebagai Hakim pada
pengadilan dan badan-badan arbitrase internasional, seperti: Mahkamah
Internasional, Badan Arbitrase Internasional ICC, Pusat Internasional untuk
penyelesaian Sengketa Investasi, dll. Kemudian seorang Sarjana Hukum juga dapat
berprofesi sebagai Jaksa Penuntut Umum pada pengadilan-pengadilan pidana
internasional, seperti: Mahkamah Pidana Internasional untuk Yugoslavia dan
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda. Kemudian pasar kerja yang tidak
berkarakteristik sebagai profesi hukum misalnya: menjadi Staf Hukum pada
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi-organisasi internasional lainnya
seperti Uni Eropa, ASEAN, WTO, Palang Merah Internasional dan lain-lain. Namun Terkadang
pula alasan-alasan politik dapat menjadi kendala bagi seorang Sarjana Hukum
untuk dapat menembus pasar kerja internasional.[18]
4.
Kompetensi
Sarjana Hukum Islam
Kompetensi Sarjana
Hukum Islam adalah kewenangan atau kemampuan yang di miliki oleh para mahasiswa
fakultas syariah yang telah menyelesaikan proses pendidikan strata satu atau
bisa juga di sebut dengan keahlian yang di miliki oleh para mahasiswa Fakultas
Hukum Islam yang telah menyelesaikan proses pendidikannya di tingkat perguruan
tinggi.
Adapun potensi yang
dimiliki oleh sarjana Hukum Islam adalah menjadi hakim di Peradilan Agama dan
menjadi advokat sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang No. 50 Tahun
2009 Tentang Pengadilan Agama dan Undang-undang No 18 th 2003 tentang Profesi Advokat.
Peluang
sarjana syariah berkiprah di peradilan agama juga cukup besar karena peradilan
agama tersebar di seluruh nusantara. Saat ini pengadilan tingkat banding di
lingkungan peradilan agama berjumlah 29. Sementara itu, pengadilan tingkat
pertama di lingkungan peradilan agama berjumlah
359. Di samping itu, dalam UU Peradilan Agama
juga disebutkan secara eksplisit bahwa untuk menjadi hakim peradilan agama, salah
satu syarat yang harus dipenuhi adalah bergelar sarjana syariah, sarjana hukum
Islam, atau sarjana hukum yang mengetahui hukum Islam. “Jadi, sarjana syariah
tetap diprioritaskan. Apalagi, dalam ujian calon hakim PA
ada tes membahas kitab kuning dan hisab rukyat. Tentu, sarjana syariah yang
lebih menguasai.”
Kemudian selain menjadi hakim Alumni
syariah bisa menjadi panitera, jususita atau pegawai pengadilan agama lainnya.
Peluang itu terbuka lebar, lantaran kompetensi peradilan agama sesuai dengan pembagian jurusan yang ada di Fakultas Syariah. Secara garis besar, kewenangan peradilan agama terdiri dari al-ahwal asysyakhsiyah, jinayah dan muamalah. Bila dirinci kewenangan itu terdiri dari perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Jadi, peradilan agama sekarang tidak hanya identik dengan perceraian. Peradilan agama juga menangani sengketa ekonomi syariah. Bahkan mahkamah syar’iyah di Aceh juga menangani perkara jinayah.[19]
Peluang itu terbuka lebar, lantaran kompetensi peradilan agama sesuai dengan pembagian jurusan yang ada di Fakultas Syariah. Secara garis besar, kewenangan peradilan agama terdiri dari al-ahwal asysyakhsiyah, jinayah dan muamalah. Bila dirinci kewenangan itu terdiri dari perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Jadi, peradilan agama sekarang tidak hanya identik dengan perceraian. Peradilan agama juga menangani sengketa ekonomi syariah. Bahkan mahkamah syar’iyah di Aceh juga menangani perkara jinayah.[19]
Kompetensi sarjana hokum islam
dapat kita lihat dalam kurikulum yang telah ditetapkan oleh fakultas syariah
pada umumnya. Dimana dalam kurikulum
tersebut dijelaskan secara rinci mata kuliah maupun sks yang yang terdapat
dalam tiap mata kuliah tersebut.
5.
Pendidikan
hukum
Untuk pendidikan hukum kita memerlukan bahan
dasar, yang tidak saja berkarakter Indonesia dengan plus minusnya, tetapi
sekaligus bahan dasar itu harus bisa dan siap untuk diolah, bahan dasar
tersebut akan berkaitan dengan bagaimana pendidikan hukum memainkan peran dalam
upaya pembaharuan. Karena pendidikan diakui merupakan salah satu pemegang
otoritas sentral dalam pengembangan keilmuan (sains dan teknologi) dan produk
manusia yang dihasilkannya.[20]
Posisinya semakin jelas bahwa pendidikan tidak
hanya melahirkan para ahli (profesional) tetapi sekaligus intelektual yang
tidak begitu saja menerima kemapanan dan menyerah terhadap perubahan, tetapi
sebagaimana dijelaskan Carvers[21],
bahwa sistem pendidikan harus melahirkan orang yang memiliki kompetensi, tegas
rasional, pragmatis dan imajinatif (kreatif). Tidak dapat dipungkiri pendidikan
hukum saat ini masih didominasi pendidikan Barat (Eropa dan Anglo) yang
diterima begitu saja (given) tanpa diseleksi terlebih dahulu. Pada satu sisi
meski memberikan keuntungan, namun selebihnya cenderung memberikan pandangan
yang mengagung-agungkan Barat, melalui jargon/credo HAM dan demokrasi serta
kebebasan. Pendidikan hukum kita terjebak pada Barat-isme. Padahal seyogyanya
harus diyakini bahwa model pendidikan alat Barat bukan satu-satunya model
pendidikan yang ada lantas dapat dijadikan contoh, masih banyak konsep
pendidikan hukum yang bisa dijadikan acuan, misalnya pendidikan Islami, atau
yang lebih kultural misalnya pendidikan Jepang yang selalu berupaya memadukan
budaya lokal dengan perubahan ala Barat yang hasilnya sangat luar biasa.
Pendidikan
Hukum dalam arti luas mencakup semua upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum
dan kemahiran serta kebiasaan berperilaku (budaya hukum) untuk mewujudkan
gagasan negara hukum dengan supremasi hukumnya ke dalam kenyataan
kemasyarakatan. Pendidikan hukum dalam arti luas ini, dengan demikian, terdiri
atas pendidikan hukum nonformal atau Pendidikan Hukum Umum dan pendidikan hukum
dalam arti sempit, yakni pendidikan hukum formal yang disebut Pendidikan Tinggi
Hukum. Pendidikan Hukum Umum diarahkan untuk secara sadar dan sistematis
menumbuhkan pada para warga dan pejabat masyarakat kesadaran hukum dan
kebiasaan berperilaku yang mematuhi hukum yang berlaku dalam masyarakat (budaya
hukum yang kondusif bagi perwujudan negara hukum dan supremasi hukum).
Pendidikan Tinggi Hukum adalah pranata pendidikan yang secara terorganisasi
berupaya untuk menghasilkan Sarjana Hukum (ahli hukum terdidik secara akademik
atau universiter), yakni orang-orang yang dengan menguasai Ilmu Hukum dan
keahlian berkeilmuan dalam bidang hukum memiliki kemampuan untuk secara
rasional dan bermartabat mengemban profesi hukum.[22] Maka tugas pendidikan hukum tidak ubahnya sekedar memelihara kemurnian
ajaran-ajaran hukum tersebut, dan akan menghasilkan praktisi-praktisi hukum
yang mampu menerapkan peraturan-peraturan yang dilandasi doktrin-doktrin
netralitas, imparsialitas dan objektivitas hukum. Pendidikan hukum, dengan
demikian lebih cenderung akan menghasilkan praktisi profesional, bukan pemikir
hukum.[23]
6.
Pendidikan Hukum Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[24]
Sedangkan
hukum Islam adalah pendidikan hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi pendidikan hukum
islam pada dasarnya maupun kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum
tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Adapun
bagian-bagian dari Pendidikan Hukum Islam itu terdiri dari:
a. Munakahat
Hukum yang mengatur sesuatau yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya
b. Wirasah
Hukum yang mengatur segala masalah yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan dan cara
pembagian warisan.
c. Muamalat
Hukum yang mengatur masalah
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam persoalan jual
beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan lain-lain.
d. Jinayat
Hukum yang mengatur
tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah
hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam
al quran dan sunah nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau perbuatan yang bentuk
dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
e. Al-ahkam as-sulthaniyah
Hukum yang mengatur soal-soal yang
berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan pusat maupun daerah, tentara,
pajak daan sebagainya.
f. Siyar
Hukum yang mengatur urusan perang
dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
g. Mukhassamat
Hukum
yang mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Sistematika
hukum islam dapat dikemukakan sebagai berikut:
-
Al-ahkam asy-syakhsiyah (hukum
perorangan)
-
Al-ahkam al-maadaniyah (hukum
kebendaan)
-
Al-ahkam al-murafaat (hukum acara
perdata, pidana, dan peradilan tata usaha)
-
Al ahkam al-dusturiyah (hukum tata
negara)
-
Al-ahkam ad-dauliyah (hukum
internasional)
-
Al-ahkam al-iqtishadiyah
wa-almaliyah (hukum ekonomi dan keuangan
7.
Pendidikan Tinggi Hukum
Pendidikan tinggi hukum diselenggarakan oleh beberapa lembaga
pendidikan tinggi hukum negeri maupun swasta. Penyelenggaraan pendidikan tinggi
hukum di beberapa lembaga pendidikan tinggi beraneka ragam, baik dari sudut
kurikulum maupun penerapannya tetapi bukan berarti menyimpang dari kurikulum
inti ataupun kurikulum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.
Pendidikan tinggi
hukum sebagai lembaga pendidikan yang berperan membentuk manusia menjadi ahli
di suatu bidang tertentu, maka dari lembaga ini, tidak saja akan lahir para
ilmuwan-ilmuwan kaliber dunia yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi lahir pula para cendekiawan yang kemudian menjadi teknokrat
yang mampu merubah perdaban suatu bangsa, bahkan peradaban dunia dan dari
lembaga pendidikan ini pula, lahir karyakarya besar yang menjadi bahan baku
penciptaan nilai-nilai ekonomi, sosial dan politik, kemasyarakatan, hukum dan
nilai-nilai manajemen yang setiap saat bergerak maju. Menyadari dan menyakini
sedalam-dalamnya tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia dalam
mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa hanya akan dapat dicapai melalui
pendidikan yang bermutu dan merata; pendidikan yang efisien dalam arti
mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan dan daya tersedia yang sekecil kecilnya
dan yang efektif, dalam arti mencapai tujuan seperti yang digariskan.[25]
Adapun tujuan dari pendidikan tinggi hukum itu adalah untuk
menghasilkan anak didik yang mandiri, sebagai pemecah masalah, sebagai pelopor pengembangan Negara.[26] Selain mencetak kader sebagaimana yang
disebutkan diatas Pendidikan Tinggi Hukum pada Fakultas Hukum di Indonesia
mempersiapkan orang untuk menjadi: pejabat pemerintah (administrasi), pejabat
kehakiman, hakim, jaksa dan anggota dari profesi bebas (advokat). Ada juga
suatu anggapan bahwa fakultas hukum itu memberikan suatu pendidikan umum yang
cukup berguna di masyarakat sekalipun akhirnya tidak akan bekerja sebagai ahli hukum.[27]
Adapun tujuan lainnya adalah:[28]
a. Memiliki kemahiran hukum : kemampuan menemukan dan menangani
(interpretasi dan kritik) bahan hukum untuk menawarkan penyelesaian masalah
hukum;
b.
Berwawasan
kebangsaan Indonesia dan menghayati serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang fundamental;
c.
Memiliki
intelektualitas yang berbudaya dan berakhlak tinggi serta bertakwa;
d.
Memiliki
komitmen pada keadilan , cita-cita luhur perjuangan bangsa Indonesia, kepekaan
terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, serta keprihatinan dan kepedulian pada
"orang kecil";
e.
Menghayati
nilai-nilai kultural pengembanan profesi hukum
f.
Memiliki
kemampuan berpikir kreatif imajinatif
g.
Memahami
dan menguasai Sistem Hukum Indonesia.
8.
Pendidikan Tinggi Hukum Islam
Pada tahun
1989 dua peristiwa penting yang berhubungan dengan penataan pendidikan tinggi
pada fakultas Syari’ah dan Hukum, yaitu diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang selanjutnya dilengkapi dengan lahirnya
UU No.30 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Secara langsung diberi inovasi
terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan baik menyangkut jenis, jalur dan
jenjang pendidikan, kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian
diperbaharui dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
UU No. 2
Tahun 1989 dan UU No. 30 Tahun 2006 dapat dipandang sebagai sarana perubahan
sistem pendidikan nasional yang baru dapat dirumuskan sejak Indonesia merdeka.
Ia mengubah sistem pendidikan secara keseluruhan. Khusus untuk perguruan
tinggi, penyusunan kurikulumnya diselenggarakan oleh berbagai perguruan tinggi
(Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Akademik) di dalamnya mengalami
perubahan penting. Di antara perubahan itu adalah otonomi perguruan tinggi
yaitu kebebasan akademik dan otonomi dalam bidang keilmuan, serta diversifikasi
program perguruan tinggi.[29]
Otonomi perguruan tinggi tersebut memberi peluang kepada
penyelenggara pendidikan tinggi untuk mengembangkan diri. Adapun peluang
tersebut adalah sebagai berikut:[30]
a. Pengelola perguruan tinggi memiliki peluang untuk merumuskan tujuan
institusional masing-masing, yang mengacu kepada statuta yang disahkan oleh
pemerintah. Tujuan institusional itu terpusat pada program studi yang
dikembangkan, sebagai penjabaran dalam pengembangan bidang ilmu yang ditransper
kepada mahasiswa.
b. Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk merumuskan dan
mengembangkan kurikulum, sesuai dengan tujuan institusional itu. Ia kemudian
tercermin dalam kurikulum yang berbasis kompetensi. Hal tersebut mengandung
pengertian bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengembangkan program
pendidikan akademi, pendidikan profesi dalam bidang ilmu yang menjadi
disiplinnya dengan memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
c. Setiap perguruan tinggi memiliki peluang menciptakan situasi
belajar yang mendukung pelaksanaan da pengembangan kurikulum yang telah
ditetapkan.
d. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi yang
dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar mahasiswanya maupun
terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Hal yang demikian itu memberi kemungkinan kepada Fakultas Syari’ah
dan Hukum dalam lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam. Perguruan Tinggi itu
memiliki otonomi untuk mengembangkan program pendidikan tinggi, baik pendidikan
akademik dan profesional maupun pendidikan profesi dalam salah satu bidang ilmu
agama Islam, khususnya bidang hukum Islam dan pranata sosial
9. Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum
Salah satu tolok ukur
hasilnya suatu pendidikan adalah banyaknya lulusan yang berkualitas, berhasil
diterima di tempat kerja, bukan hanya berfokus pada jumlah mahasiswa yang
berhasil lulus program pendidikan saja. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
kurikulum perlu disusun, disempurnakan atau dikembangkan secara terus menerus
berdasarkan hasil penelitian terhadap kualifikasi dari masing-masing profesi
yang dibutuhkan oleh dunia kerja atas dunia usaha. Kurikulum yang diberikan
atau yang disediakan oleh lembaga pendidikan untuk peserta pendidikan hendaknya
selalui mutakhir, sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehingga tidak akan
ketinggalan oleh kemajuan dunia kerja, di samping itu perlu penyediaan sarana
dan prasana yang lengkap dan mutakhir. Pendidikan tinggi seharusnya kreatif
mengadakan pengembangan/ penyempurnaan kurikulum yang bermanfaat bagi siswa
walaupun tetap berdasarkan desain kurikulum basional yang baku dan
berkompentisi standar nasional. Memformat kurikulum berbasis kempetisi perlu
memperhatikan upaya meningkatkan mutu pendidikan. Perubahan ini berdampak
terhadap kesiapan pendidikan tinggi mengimpelemtasikan di lapangan, sehingga
mempunyai kempetisi untuk menghadapi tantangan globalisasi.[31]
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[32]
Dengan
demikian , kurikulum itu mencakup unsur-unsur berikut:
a. penetapan tujuan pendidikan;
b. penetapan jangka waktu dan penahapan;
c. isi bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran pada tiap tahap.
Di atas sudah dikemukakan bahwa pendidikan
tinggi hukum, khususnya pada tataran
strata satu (S-1) dititikberatkan pada tujuan untuk menghasilkan calon pengemban
profesi hukum yang terdidik dan berbudaya, yang mampu mengemban profesi hukum
itu secara bermartabat dan dengan keahlian berkeilmuan, semuanya itu
dilaksanakan dengan men-transfer Ilmu Hukum kepada peserta didik ( mahasiswa) .
Ilmu Hukum adalah disiplin ilmiah yang secara
sistematik-logikal dan rasional-terargumentasi berupaya mengkompilasi,
menginterpretasi dan mensistematisasi bahan-bahan hukum terbaru yang terarah
untuk menawarkan penyelesaian yang paling akseptabel terhadap masalah hukum
mikro maupun makro dalam kerangka tatanan hukum positif; semua kegiatan ilmiah
tersebut tadi dilakukan dengan dan karena itu berintikan kegiatan berpikir yuridik.
Karena itu , kurikulum pendidikan tinggi
hukum strata satu seyogianya berintikan upaya untuk menumbuhkan kemampuan
berpikir yuridik dan transmisi nilai-nilai kultural pengembanan profesi hukum.[33]
10.
Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Islam
Kurikulum
merupakan kumpulan materi yang harus disampaikan oleh tenaga pengajar kepada
peserta didik atau yang dipelajari oleh peserta didik.[34]
Kurikulum juga merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[35]
Berkaitan dengan kurikulum pendidikan tinggi hukum
islam sebelum dan sesudah lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 nampak perbedaan dari
segi penataan jurusan (terkhusus pada Fakultas
Syari’ah dan Hukum). Dalam kurikulum 1988 pada Fakultas Syari’ah terdiri atas
tiga jurusan, yaitu jurusan Peradilan Agama (PA), jurusan Perdata Pidana Islam
(PPI/Muamalah Jinayah), dan jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).
Sedangkan berdasarkan kurkulum 1995 Fakultas Syari’ah
terdiri atas jurusan atau program studi Ahwal al-Syakhsiyah (AS),
jurusan Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH), jurusan program studi
Jinayah Siyasah dan jurusan program studi Muamalah.[36]
Bahkan setelah IAIN berubah menjadi UIN banyak program studi yang diadakan
mulai prodi ilmu-ilmu kesehatan science dan teknologi hingga pada pembukaan prodi
ilmu hukum dan manajemen.
Perubahan kurikulum di atas,
sangat tepat dilakukan sekarang, bersamaan dengan perubahan kurikulum fakultas
hukum di tanah air kita, sebab tujuan pendidikan hanya dapat dicapai melalui
penataan dan pengembangan kurikulum. Hal tersebut merupakan inovasi yang sangat tepat mengingat pada
kurikulum 1988, peradilan agama secara khusus lebih terkonsenterasi pada
jurusan Peradilan Agama, sedang pada kurikulum 1995 tersebar merata pada setiap
program studi.
Setelah pembentukan kurikulum
tahun 1995, maka untuk pembentukan kurikulum selajutnya dialihkan kepada
masing-masing perguruan tinggi dan fakultas masing-masing. Jadi Pihak perguruan
tinggi maupun pihak fakultas memiliki wewenang untuk meningkatkan kompetensi
para mahasiswanya dari segi kurikulum selama itu tidak menyimpang dari
ketentuan yang ada, yaitu standar kurikulum nasional.
Beralih dari hal tersebut, kebijaksanaan mengenai
penataan jurusan pada Fakultas Syari’ah merupakan kontribusi positif dengan
harapan lulusan/alumni Fakultas Syari’ah, dapat diarahkan dan dipersiapkan
menjadi tenaga yang profesional, keprofesionalannya paling tidak tercermin pada
penguasaannya pada hukum formil dan materil yang berlaku di lingkungan
Peradilan Agama.
Hal ini tergantung pada sumber daya itu sendiri (para
sarjana hukum islam) sejauh mana mereka mengaplikasikan menu yang telah
dituangkan dalam kurikulum tersebut.
Secara umum perguruan tinggi mempunyai dua misi yang
saling berkaitan, yaitu misi mikro : menyiapkan generasi muda dengan jalan
mengembangkan potensi pribadi setiap mahasiswa, dan misi makro memainkan pernan
kepemimpinan atas kehidupan masyarakat setempat.[37]
Hal tersebut sejalan dengan tri darma perguruan tinggi yang meliputi :
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam GBHN 1993
pembangunan pendidikan di perguruan tinggi juga diusahakan agar perguruan
tinggi mampu menyelenggarakan pendidikan, melakukan penelitian dan pengkajian
di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan serta memberikan pengabdian kepada
masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
Oleh karena itu misi pendidikan tinggi hukum Islam dalam upaya
peningkatan kualitas
peradilan agama dapat diproyeksikan dalam konteks tersebut.
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian adalah metode atau cara
mengadakan penelitian. Dari ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang
dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna
yang berada dibalik bahan yang akan peneliti teliti.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbgaai metode ilmiah.[38]
Penelitian yang berbentuk penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian yang diupayakan untuk mengamati suatu permasalahan secara sistematis
dan akurat mengenai fakta dan sifat obyek tertentu. Penelitian deskriptif
ditujukan untuk memaparkan, menggambarkan, dan memetakan fakta-fakta
berdasarkan cara pandang atau kerangka berfikir tertentu. Metode ini berusaha
menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi, pendapat yang berkembang, proses
yang sedang berlangsung, efek yang terjadi atau kecenderungan yang tengah
berkembang.[39]
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah jenis penelitian lapangan (field research). Dalam hal ini
peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap kurikulum yang di terapkan
dalam fakultas yang peneliti teliti. Kemudian peneliti analisis dengan berbagai
cara sesuai dengan apa yang peneliti dapatkan.
B.
Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan (field research) terlebih dahulu harus
menentukan lokasi penelitian yang telah ditentukan dengan segala
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Lokasi penelitian menunjukan dimana
penelitian tersebut hendak dilakukan.[40]
Adapun lokasi penelitian yang dijadikan obyek penelitian oleh
peneliti ialah di Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ) dan
Fakultas Syariah Institute Agama Islam Negeri Jember (IAIN Jember). Penentuan lokasi ini didasarkan bahwa lokasi tersebut memiliki
fasilitas dan pelayanan yang mendukung dalam mengadakan penelitian.
C.
Subyek Penelitian
Penentuan sumber data atau informan dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa
yang kita harapkan, atau mungkin orang tersebut seorang penguasa sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti.[41]
Penggunaan teknik purposive sampling dalam penelitian ini,
peneliti telah menentukan siapa saja yang akan dijadikan infoman untuk
mengumpulan data-data penelitian.
Adapun infoman dalam
penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Pembantu Dekan I bidang akademik Fakultas Syariah IAIN Jember
2. Pembantu Dekan I bidang akademik Fakultas Hukum Universitas Jember
D.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mendapatkan data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian, maka data yang dikumpulkan haruslah representatif. Ketepatan dalam
memilih metode memungkinkan diperolehnya data yang objektif dan sangat
menunjang keberhasilan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berbentuk tulisan, gambaran atau karya-karya monumental dari seseorang.[42]
Adapun data yang diperoleh dari bahan dokumentasi pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Data yang berbentuk dokumen tertulis (kurikulum dari Fakultas
Hukum Universitas
Jember Dan Fakultas Syariah IAIN Jember).
2. Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[43]
Teknik pengumpulan data dengan wawancara ini mendasarkan diri pada
laporan tentang diri sendiri self-report, atau setidak-tidaknya pada
pengetahuan dan keyakinan pribadi.[44]
Adapun dalam penelitian ini teknik wawancara
yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin atau bebas terstruktur yaitu peneliti secara langsung mengajukan
pertanyaan kepada informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah di siapkan
sebelumnya, namun selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti
situasi, pewawancara dituntut untuk bisa mengarahkan informan apabila ia
ternyata menyimpang.
Adapun yang diwawancarai
dalam penelitian ini yaitu Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember,
Pembantu Dekan I Fakultas Syariah Institute Agam Islam Negeri Jember,
dosen-dosen dan para pakar hukum.
Secara teknik penelitiannya dalam skripsi ini
menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan dan
menjelaskan konsep serta teori yang digunakan oleh penulis sebagai landasan
pembahasannya. Dengan
demikian, dalam pembahasan teori yang digunakan secara fungsional merupakan
media melakukan analisis untuk menjawab focus kajian yang telah di kemukakan
pada uraian sebelumnya.
Adapun alasan penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, secara akademis sarjana hukum
islam faham tentang hukum, baik dari segi hukum islam maupun hukum nasional.
Baik dari segi teori maupun penerapannya. Kedua,
telah di akui bahwa sarjana hukum islam sejajar di mata hukum dengan sarjana hukum.
Sesuai dengan pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang 1945 yang intinya adalah equality before of the law (persamaan di
mata hukum).[45]
Jadi badan legislagi perlu memverifikasi kembali mengenai kompetensi sarjana
hukum islam khususnya dimata Undang-Undang
E.
Analisa Data
Pada
tahap ini dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan dirinci bagaimana cara
analisis data itu dilakukan, karena ada bab khusus yang mempersoalkannya.
Tetapi secara globalnya peneliti menggunakan analisis
data Miles and Huberman yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas.
Selanjutnya
proses menganalisis data ini terbagi dalam tiga komponen.
1.
Data
Reduksi
Mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
2.
Data
Display
Setelah
data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Penyajian
data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori
dan sejenisnya. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami tersebut.
3.
Conclusing
Drawing
Selanjutnya
langkah terakhir dalam analisis data adalah penarikan data dan verifikasi.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah
yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dalam
perumusan masalah masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah
penelitian berada di lapangan.
Berdasarkan
metode penelitian yang diuraikan diatas. Diharapkan penulisan skripsi ini mampu
memperoleh jawaban atas pokok permasalahan yang dibahas, sehingga memperoleh
hasil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah
F.
Keabsahan Data
Keabsahan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi. Trianggulasi
adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai macam cara, dan
berbagai waktu.[46]Sedangkan
untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, peneliti menggunakan trianggulasi
sumber.
Trianggulasi
sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.[47]
Hal ini dicapai dengan jalan di antaranya:
1.
Membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2.
Membandingkan
apa yang dikatakan sumber yang satu dengan yang lainnya.
3.
Membandingkan
keadaan dan perspektif seorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang
lain.
4.
Membandingkan
hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
G.
Tahap-tahap Penelitian
Adapun
tahapan ini akan diuraikan proses pelaksanaan penelitian mulai dari penelitian
pendahuluan, pengembangan desain, penelitian sebenarnya dan sampai pada
penyusunan laporan.[48]
Untuk
mengetahui proses penelitian oleh peneliti mulai awal hingga akhir maka perlu
diuraikan tahap-tahap penelitian. Tahapan penelitian yang dilalui peneliti
dalam proses penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Tahap
Pra Lapangan
Dalam
tahapan penelitian pra lapangan terdapat enam tahapan. Adapun enam tahapan tersebut
antara lain:[49]
a.
Menyusun
Rancangan Penelitian
Pada
tahapan ini peneliti membuat rancangan penelitian terlebih dahulu, dimulai dari
pengajuan judul, penyusunan matrik penelitian yang selanjutnya dikonsultasikan
kepada dosen pembimbing dan dilanjutkan dengan penyusunan proposal penelitian
hingga diseminarkan.
b.
Memilih
Lapangan Penelitian
Sebelum
melakukan penelitian, seorang peneliti harus terlebih dahulu memilih lapangan
penelitian. Lapangan penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah Fakultas
Syariah IAIN Jember dan Fakultas Hukum UNEJ.
c.
Mengurus
Perizinan
Sebelum
mengadakan penelitian, peneliti terlebih dahulu harus mengurus dan meminta
surat perizinan, peneliti menyerahkan kepada pihak fakultas untuk mengetahui
apakah diizinkan mengadakan penelitian atau tidak.
d.
Menjajaki
dan Menilai Lapangan
Setelah
memperoleh izin, peneliti mulai melakukan penjajakan dan menilai lapangan untuk
lebih mengetahui latar belakang obyek penelitian, lingkungan pendidikan dan
lingkungan informan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menggali
data.
e.
Memilih
dan Memanfaatkan Informan
Pada
tahap ini peneliti mulai memilih informan untuk mendapatkan informasi yang
dipilih.
f.
Menyiapkan
Perlengkapan Penelitian
Setelah
semua selaesai mulai dari rancangan penelitian hingga memilih informan, maka
peneliti menyiapkan perlengkapan penelitian sebelum terjun ke lapangan yakni
mulai dari alat tulis seperti pensil, buku catatan, kertas, dan sebagainya.
2.
Tahap
Pekerjaan Lapangan
Pada
tahap ini peneliti mulai mengadakan kunjungan langsung ke lokasi penelitian,
namun di samping itu peneliti hendaknya mempersiapkan diri mulai dari pemahaman
akan latar belakang penelitian, mempersiapkan fisik, mental dan sebagainya.
3.
Tahap
Analisa Data
Pada
tahap ini dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan dirinci bagaimana cara
analisis data itu dilakukan, karena ada bab khusus yang mempersoalkannya.
Daftar Pustaka
B.Arief Sidharta. 2003. Aspek
Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan
Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan Tentang Hukum .
Bandung: Citra Adytia Bhakti
Basri Cik Hasan. 1997. Tatanan Masyarakat Indonesia
dalam Peradilan Islam . Bandung : Remaja Rosdakarya
Hefni Ruri. 2013. Buku LUKS KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jogjakarta:
Harmoni,
Ishaq.
2012 DASAR-DASAR ILMU HUKUM,
Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil C.S.T, SH dan
Christine S.T . Kansil. 2011., Pengantar Ilmu Hukum
Indonesia Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Mahmud. 2011. MetodePenelitianPendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia
Marzuki Peter
Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana Media Grup.
Moleong, Lexy J.
2009. MetodologiPenelitianKualitatif . Bandung: Rosda karya
Nasution Bahder
Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju
Perangin
Effendi, Abu Dinar. 1992. Anda
Bermaksud Menjadi Sarjana Hukum?. Jakarta: rajawali press.
Purnadi Purbacaraka. 1995. Penggarapan Disiplin Hukum Dan Filsafat Hukum Bagi
Pendidikan Hukum Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Salman Otje
& Anton F. Susanto. 2005. Teori Hukum Mengingat,
Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama
Soekanto
Soerjono. 1986. Pengantar
Penelitian Hukum Cet. 3 Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia
Soemitro Ronny
Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia
Sukmadinata
Nana Syaodih. 2014. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun
STAIN Jember. 2013. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Jember: STAIN Jember
Press
Wisnubroto Al.
1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia
dalam beberapa aspek kajian Jogjakarta : Penerbitan Universitas ATMA Jaya
Jogjakrta.
Peraturan
Perundang-Undangan:
Peraturan
Pemerintah Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal
1 (3)
Secretariat
Negara RI, Undang-undang Dasar 1945
Secretariat RI,
Undang-Undang No.20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Jurnal:
Idris Irfan. 2010.
“REFORMASI HUKUM ISLAM DAN MISI PERGURUAN TINGGI
HUKUM”. Makasar: Ar-Risalah
Website:
Imas Rosiawati “PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM
DI INDONESIA SUATU ANTISIPASI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI” (http://ejournal.kopertis4.or.id/file/PENGEMBANGAN%20PENDIDIKAN%20TINGGI.pdf 17 Desember
2015)
Irfan Idris, Jurnal Hukum Reformasi Hukum Islam dan Misi Perguruan Tinggi Hukum (http://wikapuspitasari19.blogspot.co.id/2013/04/jurnal-kurikulum-dan-pendidikan.html 06 Januari 2016)
[1] Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam
beberapa aspek kajian (Jogjakarta : Penerbitan Universitas ATMA Jaya
Jogjakrta, 1997), 1.
[4]
Secretariat Negara RI, Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28 D Ayat (1)
[5]Tim
Penyusun IAIN Jember, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jember: IAIN
Jember Press, 2015), 37.
[6]Ibid.,
38.
[7] E. Mulyasa, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 38.
[8]
Effendi
Perangin, Abu Dinar, Anda Bermaksud Menjadi Sarjana Hukum?, (Jakarta: Rajawali
Press, 1992), 6
[9]
Ibid,. 6
[10]
Eddy Damian,
“Profesionalisme Sarjana Hokum Dikaitkan Dengan Pendidikan Hokum”, Majalah
Hokum Nasional Nomor 2 (2011), 47.
[11]
Bismar
Nasution, “Seminar Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan
Sarjana Hukum Yang
Kompeten Dan Profesional Universitas Sumatera Utara” https://bismar.wordpress.com/page/7/ 15 Januari 2016.
[13]
Eman
Sulaeman, Dalam Workshop Advokasi yang diselenggarakan oleh Fakultas
Syariah IAIN JEMBER, 13 Nopember 2015.
[14] Busthanul Arifin, Pelembagaan
Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996),35 dalam Jurnal Ahkam Vol. XII, No. 2 Muhammad Iqbal,
Politik Hukum Hindia Belanda, (IAIN Sumatera Utara: 2012), 119.
[15]
Van
Vollenhoven memang sering dipandang sebagai penemu hukum adat. Ia menulis banyak artikel dan buku tentang hukum adat, di antaranya adalah Miskenningen van het Adatrecht (Salah
Paham dalam Bidang
Pengetahuan Hukum Adat) (1909), Het Adatwetboekje voor heel
Indie (Buku Kecil Hukum Adat untuk Seluruh
Indonesia) (1910), Het
Adatrecht van Nederlandsch Indie (Hukum
Adat Hindia Belanda) sebanyak
tiga jilid (1918-1933), De
Indonesier en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya) (1919), dan Ontdekking van het Adatrecht (Penemuan
Hukum Adat) (1928).
[16] E. Mulyasa, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 38.
[17]
C.S.T Kansil,
SH dan Christine S.T . Kansil, Pengantar Ilmu Hukum
Indonesia (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2011), 3
[19] Wahyu
Widiana, “Seminar Nasional Bertema Menatap Masa Depan Output Syariah dalam
Dunia Kerja” http://www.pa-metro.go.id/pengumuman-menu-kiri-148/473-dirjen-badilag-alumni-fakultas-syariah-harus-optimis.html
16 Mei 2016.
[20] Otje Salman
& Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka
Kembali (Bandung:
Refika Aditama, 2005), 152
[21] D.F. Carvers,
Legal Education in Berman, Talks on American Law, Harvard, Voice of America,
1972, dalam Otje Salman & Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat,
Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung,: 2005), 153.
[22] B.Arief
Sidharta, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum
Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan Tentang Hukum (Bandung
: Citra Adytia Bhakti, 2003) 505.
[23]Dey
Ravena, “WACANA KONSEP HUKUM PROGRESIF
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”, (Jurnal
Wawasan Hukum, Universitas Islam Bandung, 2010), 157.
[24] Secretariat RI,
Undang-Undang No.20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal
1 Ayat (1)
MEMENUHI TUNTUTAN
DUNIA KERJA” , (Jurnal Wawasan Hukum Vol
II, Universitas Subang (UNSUB), Subang, 2011), 328.
[26]
Purnadi
Purbacaraka, Penggarapan Disiplin Hukum
Dan Filsafat Hukum Bagi Pendidikan Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995), 4
[27]
C.S.T Kansil,
SH dan Christine S.T . Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, 2.
[28] Imas Rosidawati “PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM
DI INDONESIA SUATU ANTISIPASI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI” http://e-journal.kopertis4.or.id/file/PENGEMBANGAN%20PENDIDIKAN%20TINGGI.pdf (17 Desember 2015)
[29]
Irfan Idris, Jurnal Hukum Reformasi Hukum
Islam dan Misi Perguruan Tinggi Hukum http://wikapuspitasari19
/2013/04/jurnal-kurikulum-dan-pendidikan.html (06 Januari 2016)
[30]
Cik Hasan
Basri, Tatanan Masyarakat Indonesia dalam Peradilan Islam (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1997), 77-78.
MEMENUHI TUNTUTAN
DUNIA, 334.
[32]
Peraturan
Pemerintah Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 (3)
[33]
B.Arief
Sidharta, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan Tentang Hukum IV, (Citra
Adytia Bhakti: Bandung, 2003, hlm. 505.
[34]
Nana Syaodih Sukmadinata,
Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), 4
[35]
Peraturan
Pemerintah Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal
1 (3)
[36] Lihat Ditjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI., Topik Inti Kurikulum
Nasional IAIN Fakultas Syari’ah (Jakarta : Departemen Agama 1995), 1-2.
[37]
Talisiduhu
Uraha, Managemen Perguruan Tinggi (Cet. I ; Jakarta : Bina Aksara,
1998), 49 dalam Jurnal Hukum Irfan
Idris, “REFORMASI HUKUM ISLAM DAN
MISI PERGURUAN TINGGI HUKUM” (Makasar:
Ar-Risalah, 2010), 362-363
[39] Mahmud ,Metode Penelitian Pendidikan (Bandung:
CV Pustaka Setia,2011),100.
[41]Sugiono,Metode
Penelitian Pendidikan,300.
[45]
Secretariat Negara RI
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 (1)
[47] Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, 330.
[48] Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan, 44.
Komentar
Posting Komentar