KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM





BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara hukum, dimana setiap tindakan yang dilakukan manusia semuanya bersifat mengikat dan berlabel suatu perbuatan hukum. Baik itu masyarakat secara umum, pejabat, maupun aparatur pemerintah selama masih berada didalam suatu Negara pasti terikat dengan hukum. Karena Negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari sebuah konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah hukum.
Cita-cita filsafat yang telah di rumuskan para pendiri kenegaraan dalam konsep “Indonesia adalah Negara Hukum” mengandung arti bahwa dalam hukum, antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat.[1] Oleh karena itu adanya sebuah konstitusi dalam suatu Negara merupakan pagar dan pembatas bagi seluruh warga khususnya Indonesia untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku mereka agar tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan.
Terbentuknya sebuah Negara hukum yang berdaulat tidak dapat terealisasi dengan baik tanpa adanya peran yang responsive baik dari pemerintah maupun para penegak hukum yang ada di Indonesia.
Berbicara mengenai para penegak hukum, penegak hukum adalah seorang pejabat/perorangan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengendalikan kejahatan, sengketa dan lain-lain yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian yang ada dalam suatu Negara. Para penegak hukum ini terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.[2]
Penegak hukum juga merupakan instrument yang penting untuk mewujudkan keadilan yang ada di Indonesia, meskipun keadilan yang kita kenal saat ini masih bersifat abstrak. Para penegak hukum disini tidak serta merta lahir dengan sendirinya, menjadi berkualitas dan profesional dengan sendirinya melainkan ada tahapan ataupun wadah-wadah yang memang menampung Sumber Daya Manusia (SDM) agar menjadi kader-kader yang ahli dalam hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Wadah inilah yang dinamakan dengan pendidikan Tinggi Hukum.
F2Pendidikan Tinggi adalah sebuah lembaga pendidikan yang pada umumnya bertujuan untuk menghasilkan kader-kader yang mandiri, sebagai pemecah masalah, dan sebagai pelopor untuk memajukan sebuah peradaban. Sedangkan pendidikan tinggi hukum pada dasarnya mencakup upaya penguasaan disiplin hukum, teknologi maupun keterampilan hukum. Jadi selain mendidik para kadernya untuk menjadi penerus bangsa yang mandiri, pemecah masalah dan sebagai pelopor, pendidikan ini juga memberikan kontribusi kepada para kadernya agar menjadi sumber daya yang paham tentang hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Pendidikan inilah yang akhirnya akan melahirkan sebuah lulusan dan menyandang gelar sebagai Sarjana Hukum.
Sarjana hukum adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan di fakultas hukum. Sarjana hukum berhak untuk menjadi hakim, jaksa, berprofesi bebas seperti advokat karena, sarjana hukum merupakan sumber daya manusia yang memang diasah dan dicetak untuk menjadi seorang pakar hukum di setiap lingkungan lembaga hukum yang ada di Indonesia. Selain itu para sarjana hukum juga dibekali dengan kemampuan mereka baik secara teori, ruang lingkup pembahasan yang begitu mendalam baik dari segi hukum Nasional maupun Internasional, studi lapangan berupa praktek dalam mengatasi suatu perkara, bobot Satuan Kredit Semester (SKS) yang mereka ampu, kemudian pengampu (dosen) mata kuliah yang berkenaan memang di filter dari Sumber Tenaga Pengampu yang Profesional.[3]
                        Tetapi, perlu kita ketahui bahwa di Indonesia tidak hanya sarjana hukum saja yang ahli dalam bidang hukum dan berkesempatan untuk menjadi seorang ahli hukum dilingkungan lembaga hukum, melainkan ada Sarjana Hukum Islam yang juga ahli di bidang hukum. Akan tetapi adanya Sarjana Hukum Islam ini seperti dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Mengapa demikian? Pengadilan Agama memberi kesempatan kepada Sarjana Hukum untuk menjadi hakim selama mereka memiliki kemampuan dan memenuhi kriteria untuk menjadi seorang hakim. Tetapi mengapa dalam peradilan umum Undang-Undang hanya membatasi pada sarjana hukum saja? Bagaimana KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM Studi Komparasi Kompetensi Fakultas Syariah Iain Jember Dengan Kompetensi Fakultas Hukum Universitas Jember? Kemudian bagaimana perbandingan antara KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM Studi Komparasi Kompetensi Fakultas Syariah Iain Jember Dengan Kompetensi Fakultas Hukum Universitas Jember?  Padahal secara yuridis konstitusi telah mengakui dan menegaskan dalam pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang 1945 bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka Hukum”[4]
Persamaan di depan hukum (equality before of the law) dapat di nikmati oleh masyarakat khususnya Sarjana Hukum Islam apabila terealisasi dengan baik. Karena kedudukan antara Sarjana Hukum Maupun Sarjana Hukum Islam sejajar di mata hukum. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merasa perlu mengkaji atau membahas lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul
“KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM Studi Komparasi Kompetensi Fakultas Syariah Iain Jember Dengan Kompetensi Fakultas Hukum Universitas Jember

B.     FOKUS PENELITIAN
Dari uraian latar belakang di atas merupakan suatu permasalahan, di mana dari permasalahan di atas akan diteliti agar menjadi lebih jelas dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu disusun fokus penelitian.
Adapun hal-hal yang menjadi Fokus Penelitian ialah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kompetensi Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah Institute Agama Islam Negeri Jember?
2.      Bagaimana kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember?
3.      Bagaimana perbandingan kompetensi Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah Institute Agama Islam Negeri Jember dan kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember?

C.    TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian merupakan gambaran tentang arah yang akan dituju dalam melakukan penelitian. Tujuan penelitian harus mengacu dan konsisten dengan masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.[5] Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1.      Untuk mengetahui kompetensi Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah Institute Agama Islam Negeri Jember.
2.      Untuk mengetahui kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember.
3.      Untuk menganalisa perbandingan kompetensi di Fakultas Syariah Institute Agama Islam Negeri Jember dan kompetensi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember

D.    MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian diharapkan dapat memiliki manfaat. Manfaat penelitian berisi tentang kontribusi apa yang akan diberikan setelah selesai melakukan penelitian. Kegunaan dapat berupa kegunaan yang bersifat teoritis dan kegunaan praktis.[6]
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1.      Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan mendobrak cara berfikir pemerintah dalam memandang para Sarjana Hukum Islam demi kemajuan dan pengembangan potensi sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan, khususnya mengenai KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM
a)      Bagi peneliti, yakni sebagai tambahan pengetahuan tentang dunia Hukum khususnya mengenai KOMPETENSI SARJANA HUKUM ISLAM DAN SARJANA HUKUM
b)      Bagi lembaga legislasi (DPR) ,yakni sebagai bentuk kontribusi dan bahan evaluasi bagi lembaga legislasi bahwa sarjana hukum islam layak diperhitungkan kemampuannya untuk memiliki hak yang sama sebagaimana sarjana hukum.
c)      Bagi lembaga IAIN Jember, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur atau referensi untuk melengkapi kepustakaan yang berkaitan dengan Kompetensi sarjana Hukum Islam.

E.     DEFINISI ISTILAH
Penggunaan judul oleh peneliti tidak menutup kemungkinan akan memunculkan berbagai tafsir oleh pembaca. Dari berbagai tafsir maka akan muncul pemahaman terhadap tulisan yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan penegasan dalam judul merupakan gambaran awal yang diperoleh pembaca. Sehingga peneliti perlu untuk mendefinisikan beberapa istilah dalam judul tersebut, sebagai berikut
1.      Kompetensi                        : Kompetensi sebagaimana dikutip oleh Mulyasa dari Mc. Aschan adalah …”is a knowledge, skills and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviours.” Dengan demikian kompetensi berarti pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.[7]
2.      Sarjana Hukum Islam         : Sarjana Hukum Islam adalah para akademisi yang telah menyelesaikan proses belajar selama kurang-lebih 4 tahun. Dan wujud dari hasil belajar yang mereka tempuh ialah berupa gelar akademik yang di berikan pemerintah kepada para sarjana Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga), Muamalah (Hukum Ekonomi Islam), Jinayah (Hukum Pidana Islam), Siyasah (Hukum Tata  Negara) dan lain-lain yang tercover di dalamnya.
3.      Sarjana Hukum                   : Sarjana hukum adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan di fakultas hukum. Sarjana hukum juga di anggap sebagai seorang ahli yang memahami semua hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Sarjana hukum juga mempunyai peluang untuk menjadi jaksa, pengacara, hakim, konsultan hukum, notaries dan seterusnya apabila syarat-syarat yang telah di tentukan sudah terpenuhi.[8]

F.     SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar penulisan skripsi ini dapat terarah dengan baik dan sistematis, dibutuhkan sistem penulisan yang baik. Dimana peneliti akan menguraikan secara menyeluruh dari hasil penelitian ini secara sistematis.
Dalam penulisan proposal Skripsi ini Peneliti merujuk pada tekhnik Penulisan yang ada pada buku “ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” tahun 2014 IAIN Jember dengan tujuan agar tekhnik penulisan dalam Skripsi ini dapat memenuhi persyaratan penulisan yang baik dalam membuat suatu tulisan ilmiah.
Dalam Skripsi ini, sistematika pembahasan merupakan gambaran singkat dan urutan antar bab dari Skripsi, yang dirumuskan secara berurutan dari bab per bab, dengan tujuan agar pembaca dapat mudah dan cepat memahami Skripsi.
Dalam pedoman penulisan karya ilmiah, Skripsi nanti akan terdiri lima bab, yang diawali dengan halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, motto, kata pengantar, abstraksi, daftar isi, yang dilanjutkan dengan bab I sampai dengan bab V
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
Bab satu pendahuluan, pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, fokus kajian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi istilah. Sistematika penulisan ini untuk mendiskripsikan atau menggambarkan kerangka dari skripsi ini.
Bab dua kajian kepustakaan, berisi tentang penelitian terdahulu, dan kajian teori yang diteliti oleh peneliti. Pertama, penelitian terdahulu berisi tentang hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang hendak dilakukan, kemudian membuat ringkasannya, baik penelitian yang sudah terpublikasi atau belum terpublikasikan. Dengan melakukan penelitian terdahulu ini maka dapat dilihat sejauh mana originalitas dari posisi penelitian yang hendak dilakukan. Kedua, kajian teori yaitu berisi tentang teori-teori yang dijadikan sebagai perspektif dalam penelitian. Dalam hal ini menyajikan tentang landasan teori. Adapun landasan teorinya terdiri dari Sarjana hokum islam, sarjana hokum, kompetensi sarjana hokum islam, kompetensi sarjna hokum, kurikulum sarjana hokum islam, kurikulum sarjana hokum, dan seterusnya yang berkaitan dengan judul skripsi yang telah dibuat oleh peneliti.
Bab tiga pembahasan berisi tentang gagasan pokok dari peneliti, diteruskan dengan kajian mendalam guna menganalisa dan menemukan pemecahan masalah yang diangkat oleh peneliti. 
Bab empat berisi tentang penyajian data dan analisis data yang terdiri dari gambaran obyek penelitian, penyajian data dan pembahasan temuan penelitian.
Bab lima yang terdiri dari kesimpulan dan saran, bab ini merupakan akhir dari penulisan karya ilmiah dan merupakan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Dan sebagai akhir dari penelitian ini ditutup dengan saran-saran yang ditujukan kepada pemerintah











BAB II  KAJIAN KEPUSTKAAN
A.    PENELITIAN TERDAHULU
Dengan melakukan langkah penelitian sebelumnya atau terdahulu ini, di harapkan akan dapat dilihat sejauh mana keabsahan dan posisi peneliti yang akan di lakukan. Beberapa penelitian yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang dikembangkan peneliti antara lain:
a)      Skripsi Nasokah Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 2002, dengan Judul Eksisitensi Sarjana Syariah Sebagai Pengacara di Pengadilan Agama
b)      Skripsi Abdul Rohman Lubis Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006, dengan Judul Tantangan Sarjana Hukum Islam Menjadi Advokat Menurut Undang-Undang No 18 Tahun 2003
a)      Yusdani, Jurnal Al-Mawarid Edisi XII Tahun 2004 dengan judul Posisi Tawar Sarjana Syariah Menurut Undang-Undang Advokat.
b)      Jurnal Hukum Fairuz Sabiq, Andi Mardian, Diana Zuhroh, Aris Widodo, dengan Judul Pengembangan Kurikulum Prodi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah  Ke Arah Kompetensi Syariah Dan Kebutuhan Masyarakat.
Persamaan penelitian terdahulu ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah baik jurnal maupun skripsi ini sama-sama mengakaji tentang kurikulum dan konpetensi yang dimiliki oleh sarjana syariah yang berada dalam naungan fakultas syariah. Perbedaannya, penenlitian terdahulu ini hanya berfokus pada kompetensi sarjana syariah saja tanpa membandingkan kompetensi maupun kurikulum antara fakultas syariah dengan fakultas hukum pada umumnya. Padahal secara kompetensi tidak jauh berbeda dengan fakultas hukum secara umum.

B.     KAJIAN TEORI
1.      Sarjana Hukum
Sarjana hukum adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan di fakultas hukum. Sarjana hukum juga di anggap sebagai seorang ahli yang memahami semua hukum baik dari segi teori maupun penerapannya. Sarjana hukum juga mempunyai peluang untuk menjadi jaksa, pengacara, hakim, konsultan hukum, notaries dan seterusnya apabila syarat-syarat yang telah di tentukan sudah terpenuhi.[9]
Gelar sarjana hukum ini merupakan salah satu syarat yang paling penting dan sangat menentukan bagi perjalanan karir seseorang. Selain itu predikat Sarjana Hukum yang kita kenal dewasa ini adalah hasil pendidikan di dalam lingkungan perguruan tinggi yang telah mengalami reformasi atau pembaharuan sejak berdirinya konsporium ilmu hokum.[10]
L. Michael Hagger menggambarkan, bahwa jalannya suatu sistem hukum tidak akan pernah lebih baik dari mereka yang menjalankannya, seperti Sarjana Hukum. Hal ini disebabkan Sarjana Hukum adalah tonggak yang berperan menjalankan hukum bukan hanya berdasarkan cara berpikirnya sendiri, tetapi berasal dari pendidikan yang diperolehnya dari kuliah semasa di Fakultas Hukum.[11]
Di Indonesia, profesi hukum dapat terbagi ke dalam 4 (empat) profesi, yaitu: Hakim, Jaksa, Penasihat Hukum dan Notaris, ditambah lagi dengan penegak hukum polisi. Hakim bertugas untuk menyelesaikan konflik yang memerlukan campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian secara tidak memihak yakni lembaga peradilan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian, dan memberikan keputusan terhadap konflik. Wewenang tersebut disebut dengan "Kekuasaan Kehakiman" dimana di dalam praktik dilaksanakan oleh hakim. Profesi hakim diatur oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum terhadap pelanggar hukum pidana dimuka pengadilan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Profesi Jaksa diatur oleh UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.[12]
2.      Sarjana Hukum Islam
Sarjana Hukum Islam adalah para akademisi yang telah menyelesaikan proses belajar selama kurang-lebih 4 tahun. Dan wujud dari hasil belajar yang mereka tempuh ialah berupa gelar akademik yang di berikan pemerintah kepada para sarjana Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga), Muamalah (Hukum Ekonomi Islam), Jinayah (Hukum Pidana Islam), Siyasah (Hukum Tata  Negara) dan lain-lain yang tercover di dalamnya.
Sarjana Hukum Islam kerap disapa dengan sarjana syariah. Sarjana syariah adalah sarjana hukum sama seperti sarjana hukum lainnya, bahkan dapat dikatakan sarjana syariah merupakan sarjana hukum plus. Disamping menguasai hukum secara umum atau yang biasa kita sebut dengan hukum positif, Sarjana syariah juga menguasai hukum islam dan belum tentu sarjana hukum secara umumnya menguasai tentang hukum islam.
Sekalipun sarjana hokum islam memiliki kompetensi yang tidak jauh berbeda dengan sarjana hukum pada umumnya, akan tetapi keberadaannya masih dipandang sebelah mata baik bagi para pemerintah maupun undang-undang itu sendiri. Mengapa demikian? Karena secara eksternal sarjana syariah masih dihadapkan pada masalah pengaburan persepsi syariah sebagai hokum yang telah lama di rekayasa selama berabad-abad oleh pemerintah Kolonial Belanda.[13]
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum Pemerintah Hindia Belanda pada mulanya tidak ingin mengganggu masalah agama (hukum) penduduk pribumi. Bahkan penjajah Belanda cenderung bersikap kompromistis dan memberikan sarana bagi pengakuanhukum Islam di kalangan penduduk. Berdasarkan kebijakan politik ini, Mason menyimpulkan bahwa Belanda juga memberi kontribusi bagi perkembanganhukum Islam di Jawa, umumnya Indonesia, denganmempromosikan karya-karya hukum fikih ulama klasik dan pertengahan dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam sistem peradilan Islam.[14] Meskipun secara asumtif dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut tidak terlepas dari motif imperialisme dan kolonialisme Belanda, yang jelas pelembagaan hukum Islam dan pengakuan oleh Belanda semakin memperkukuh kedudukan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
Namun, memasuki pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai berusaha keras mencampuri urusan keagamaan penduduk pribumi. Perubahan kebijakan ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di negeri Belanda maupun di wilayah jajahan Hindia Belanda. Harry J. Benda menyebutkan bahwa orangorang Belanda di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia mengharapkan supaya pengaruh Islam di daerah jajahannya dihilangkan dengan mempercepat Kristenisasi sebagian besar orang Indonesia. Ini didasarkan pada anggapan orang Barat tentang superioritas ajaran Kristen atas Islam Karena itu, Belanda kemudian membutuhkan politik hukum yang dapat melemahkan posisi Islam bagi umatnya. Ini menandai fase kedua dari politik hukum Islam Belanda terhadap negeri jajahan mereka.
Perubahan politik ini lebih jelas terlihat pada Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No. 78 yang membenarkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda mencampuri masalah agama dan mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang perlu, demi kepentingan ketertiban dan keamanan.10 Belanda pun pada 1889 mendatangkan dan mengangkat seorang ahli Islam bemama Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai penasihat pemerintah penjajah Belanda. Hurgronje mulai mengkritik pandanganpandangan Van den Berg sebelumnya. Selama tujuh belas tahun berada di Indonesia (1889-1906), Snouck Hurgronje melakukan pelbagai penyelidikan terhadap masyarakat Aceh dan beberapa daerah lainnya di Indonesia seperti Batavia dan Banten. Dialah yangpertama kali merintis ilmu hukum adat Indonesia yang kemudian ditemukan secara “ilmiah” oleh penerusnya Van Vollenhoven.11 Dia pula sarjana Belanda yang kali pertama mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam.[15]
Inilah penyebab mengapa sampai saat ini pemerintah masih mengenyampingkan eksistensi para Sarjana Syariah dengan Sarjana Hukum pada umumnya.
3.      Kompetensi Sarjana Hukum
Kompetensi sebagaimana dikutip oleh Mulyasa dari Mc. Aschan adalah …”is a knowledge, skills and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviours.” Dengan demikian kompetensi berarti pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.[16]
Kompetensi Sarjana hukum adalah kemampuan atau keahlian yang menonjol yang dimiliki oleh para sarjana hukum yang telah menyelesaikan proses pendidikannya selama menempuh pendidikan hukum di pendidikan tinggi hukum. Selain ahli dari segi teori maupun penerapannya, sarjana hukum juga memiliki peluang untuk meniti karirnya di kejaksaan (menjadi jaksa), di pengadilan (menjadi hakim maupun panitera), diberbagai departemen atau pemerintahan daerah, di Fakultas hukum (menjadi dosen), terjun ke dunia swasta menjadi pengacara, notaries, karyawan, atau penasihat hukum perusahaan-perusahaan.[17]
Berdasarkan hal-hal yang telah Penulis jabarkan diatas, sebenarnya Sarjana Hukum tidak hanya dapat meniti karir di pasar Nasional saja, melainkan pasar kerja Internasional juga terbuka bagi Sarjana Hukum yang cukup luas dan banyak jumlahnya. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pasar kerja internasional tidak selalu mudah ditembus oleh Sarjana Hukum. Dalam hal profesi Advokat, sebagian besar negara di dunia mengatur bahwa hanya warga negara tersebut yang dapat menjadi Advokat. Warga negara asing hanya dapat menjadi konsultan hukum pada firma-firma hukum di negara tersebut. Selain itu Sarjana Hukum juga dapat berprofesi sebagai Hakim pada pengadilan dan badan-badan arbitrase internasional, seperti: Mahkamah Internasional, Badan Arbitrase Internasional ICC, Pusat Internasional untuk penyelesaian Sengketa Investasi, dll. Kemudian seorang Sarjana Hukum juga dapat berprofesi sebagai Jaksa Penuntut Umum pada pengadilan-pengadilan pidana internasional, seperti: Mahkamah Pidana Internasional untuk Yugoslavia dan Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda. Kemudian pasar kerja yang tidak berkarakteristik sebagai profesi hukum misalnya: menjadi Staf Hukum pada Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi-organisasi internasional lainnya seperti Uni Eropa, ASEAN, WTO, Palang Merah Internasional dan lain-lain. Namun Terkadang pula alasan-alasan politik dapat menjadi kendala bagi seorang Sarjana Hukum untuk dapat menembus pasar kerja internasional.[18]
4.      Kompetensi Sarjana Hukum Islam
Kompetensi Sarjana Hukum Islam adalah kewenangan atau kemampuan yang di miliki oleh para mahasiswa fakultas syariah yang telah menyelesaikan proses pendidikan strata satu atau bisa juga di sebut dengan keahlian yang di miliki oleh para mahasiswa Fakultas Hukum Islam yang telah menyelesaikan proses pendidikannya di tingkat perguruan tinggi.
Adapun potensi yang dimiliki oleh sarjana Hukum Islam adalah menjadi hakim di Peradilan Agama dan menjadi advokat sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama dan Undang-undang No 18 th 2003 tentang Profesi Advokat.
Peluang sarjana syariah berkiprah di peradilan agama juga cukup besar karena peradilan agama tersebar di seluruh nusantara. Saat ini pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan agama berjumlah 29. Sementara itu, pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama berjumlah 359. Di samping itu, dalam UU Peradilan Agama juga disebutkan secara eksplisit bahwa untuk menjadi hakim peradilan agama, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah bergelar sarjana syariah, sarjana hukum Islam, atau sarjana hukum yang mengetahui hukum Islam. “Jadi, sarjana syariah tetap diprioritaskan. Apalagi, dalam ujian calon hakim PA ada tes membahas kitab kuning dan hisab rukyat. Tentu, sarjana syariah yang lebih menguasai.”
Kemudian selain menjadi hakim Alumni syariah bisa menjadi panitera, jususita atau pegawai pengadilan agama lainnya.
Peluang itu terbuka lebar, lantaran kompetensi peradilan agama sesuai dengan pembagian jurusan yang ada di Fakultas Syariah. Secara garis besar, kewenangan peradilan agama terdiri dari al-ahwal asysyakhsiyah, jinayah dan muamalah. Bila dirinci kewenangan itu terdiri dari perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Jadi, peradilan agama sekarang tidak hanya identik dengan perceraian. Peradilan agama juga menangani sengketa ekonomi syariah. Bahkan mahkamah syar’iyah di Aceh juga menangani perkara jinayah.[19]
Kompetensi sarjana hokum islam dapat kita lihat dalam kurikulum yang telah ditetapkan oleh fakultas syariah pada umumnya. Dimana dalam kurikulum tersebut dijelaskan secara rinci mata kuliah maupun sks yang yang terdapat dalam tiap mata kuliah tersebut.

5.      Pendidikan hukum
Untuk pendidikan hukum kita memerlukan bahan dasar, yang tidak saja berkarakter Indonesia dengan plus minusnya, tetapi sekaligus bahan dasar itu harus bisa dan siap untuk diolah, bahan dasar tersebut akan berkaitan dengan bagaimana pendidikan hukum memainkan peran dalam upaya pembaharuan. Karena pendidikan diakui merupakan salah satu pemegang otoritas sentral dalam pengembangan keilmuan (sains dan teknologi) dan produk manusia yang dihasilkannya.[20]
Posisinya semakin jelas bahwa pendidikan tidak hanya melahirkan para ahli (profesional) tetapi sekaligus intelektual yang tidak begitu saja menerima kemapanan dan menyerah terhadap perubahan, tetapi sebagaimana dijelaskan Carvers[21], bahwa sistem pendidikan harus melahirkan orang yang memiliki kompetensi, tegas rasional, pragmatis dan imajinatif (kreatif). Tidak dapat dipungkiri pendidikan hukum saat ini masih didominasi pendidikan Barat (Eropa dan Anglo) yang diterima begitu saja (given) tanpa diseleksi terlebih dahulu. Pada satu sisi meski memberikan keuntungan, namun selebihnya cenderung memberikan pandangan yang mengagung-agungkan Barat, melalui jargon/credo HAM dan demokrasi serta kebebasan. Pendidikan hukum kita terjebak pada Barat-isme. Padahal seyogyanya harus diyakini bahwa model pendidikan alat Barat bukan satu-satunya model pendidikan yang ada lantas dapat dijadikan contoh, masih banyak konsep pendidikan hukum yang bisa dijadikan acuan, misalnya pendidikan Islami, atau yang lebih kultural misalnya pendidikan Jepang yang selalu berupaya memadukan budaya lokal dengan perubahan ala Barat yang hasilnya sangat luar biasa.
 Pendidikan Hukum dalam arti luas mencakup semua upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum dan kemahiran serta kebiasaan berperilaku (budaya hukum) untuk mewujudkan gagasan negara hukum dengan supremasi hukumnya ke dalam kenyataan kemasyarakatan. Pendidikan hukum dalam arti luas ini, dengan demikian, terdiri atas pendidikan hukum nonformal atau Pendidikan Hukum Umum dan pendidikan hukum dalam arti sempit, yakni pendidikan hukum formal yang disebut Pendidikan Tinggi Hukum. Pendidikan Hukum Umum diarahkan untuk secara sadar dan sistematis menumbuhkan pada para warga dan pejabat masyarakat kesadaran hukum dan kebiasaan berperilaku yang mematuhi hukum yang berlaku dalam masyarakat (budaya hukum yang kondusif bagi perwujudan negara hukum dan supremasi hukum). Pendidikan Tinggi Hukum adalah pranata pendidikan yang secara terorganisasi berupaya untuk menghasilkan Sarjana Hukum (ahli hukum terdidik secara akademik atau universiter), yakni orang-orang yang dengan menguasai Ilmu Hukum dan keahlian berkeilmuan dalam bidang hukum memiliki kemampuan untuk secara rasional dan bermartabat mengemban profesi hukum.[22] Maka tugas pendidikan hukum tidak ubahnya sekedar memelihara kemurnian ajaran-ajaran hukum tersebut, dan akan menghasilkan praktisi-praktisi hukum yang mampu menerapkan peraturan-peraturan yang dilandasi doktrin-doktrin netralitas, imparsialitas dan objektivitas hukum. Pendidikan hukum, dengan demikian lebih cenderung akan menghasilkan praktisi profesional, bukan pemikir hukum.[23]
6.      Pendidikan Hukum Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[24]
Sedangkan hukum Islam adalah pendidikan hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi pendidikan hukum islam pada dasarnya maupun kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Adapun bagian-bagian dari Pendidikan Hukum Islam itu terdiri dari:
a.      Munakahat
              Hukum yang mengatur sesuatau yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya
b.      Wirasah
              Hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan dan cara pembagian warisan.
c.       Muamalat
              Hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam persoalan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan lain-lain.
d.      Jinayat
              Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam al quran dan sunah nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau perbuatan yang bentuk dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
e.       Al-ahkam as-sulthaniyah
              Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak daan sebagainya.
f.       Siyar
              Hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
g.       Mukhassamat
Hukum yang mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Sistematika hukum islam dapat dikemukakan sebagai berikut:
-          Al-ahkam asy-syakhsiyah (hukum perorangan)
-          Al-ahkam al-maadaniyah (hukum kebendaan)
-          Al-ahkam al-murafaat (hukum acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha)
-          Al ahkam al-dusturiyah (hukum tata negara)
-          Al-ahkam ad-dauliyah (hukum internasional)
-          Al-ahkam al-iqtishadiyah wa-almaliyah (hukum ekonomi dan keuangan
7.      Pendidikan Tinggi Hukum
Pendidikan tinggi hukum diselenggarakan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi hukum negeri maupun swasta. Penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum di beberapa lembaga pendidikan tinggi beraneka ragam, baik dari sudut kurikulum maupun penerapannya tetapi bukan berarti menyimpang dari kurikulum inti ataupun kurikulum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.
Pendidikan tinggi hukum sebagai lembaga pendidikan yang berperan membentuk manusia menjadi ahli di suatu bidang tertentu, maka dari lembaga ini, tidak saja akan lahir para ilmuwan-ilmuwan kaliber dunia yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi lahir pula para cendekiawan yang kemudian menjadi teknokrat yang mampu merubah perdaban suatu bangsa, bahkan peradaban dunia dan dari lembaga pendidikan ini pula, lahir karyakarya besar yang menjadi bahan baku penciptaan nilai-nilai ekonomi, sosial dan politik, kemasyarakatan, hukum dan nilai-nilai manajemen yang setiap saat bergerak maju. Menyadari dan menyakini sedalam-dalamnya tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia dalam mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa hanya akan dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu dan merata; pendidikan yang efisien dalam arti mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan dan daya tersedia yang sekecil kecilnya dan yang efektif, dalam arti mencapai tujuan seperti yang digariskan.[25]
Adapun tujuan dari pendidikan tinggi hukum itu adalah untuk menghasilkan anak didik yang mandiri, sebagai pemecah masalah, sebagai pelopor pengembangan Negara.[26] Selain mencetak kader sebagaimana yang disebutkan diatas Pendidikan Tinggi Hukum pada Fakultas Hukum di Indonesia mempersiapkan orang untuk menjadi: pejabat pemerintah (administrasi), pejabat kehakiman, hakim, jaksa dan anggota dari profesi bebas (advokat). Ada juga suatu anggapan bahwa fakultas hukum itu memberikan suatu pendidikan umum yang cukup berguna di masyarakat sekalipun akhirnya tidak akan bekerja sebagai ahli hukum.[27]
Adapun tujuan lainnya adalah:[28]
a.       Memiliki kemahiran hukum : kemampuan menemukan dan menangani (interpretasi dan kritik) bahan hukum untuk menawarkan penyelesaian masalah hukum;
b.      Berwawasan kebangsaan Indonesia dan menghayati serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental;
c.       Memiliki intelektualitas yang berbudaya dan berakhlak tinggi serta bertakwa;
d.      Memiliki komitmen pada keadilan , cita-cita luhur perjuangan bangsa Indonesia, kepekaan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, serta keprihatinan dan kepedulian pada "orang kecil";
e.       Menghayati nilai-nilai kultural pengembanan profesi hukum
f.       Memiliki kemampuan berpikir kreatif imajinatif
g.      Memahami dan menguasai Sistem Hukum Indonesia.
8.      Pendidikan Tinggi Hukum Islam
Pada tahun 1989 dua peristiwa penting yang berhubungan dengan penataan pendidikan tinggi pada fakultas Syari’ah dan Hukum, yaitu diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang selanjutnya dilengkapi dengan lahirnya UU No.30 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Secara langsung diberi inovasi terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan baik menyangkut jenis, jalur dan jenjang pendidikan, kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian diperbaharui dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 30 Tahun 2006 dapat dipandang sebagai sarana perubahan sistem pendidikan nasional yang baru dapat dirumuskan sejak Indonesia merdeka. Ia mengubah sistem pendidikan secara keseluruhan. Khusus untuk perguruan tinggi, penyusunan kurikulumnya diselenggarakan oleh berbagai perguruan tinggi (Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Akademik) di dalamnya mengalami perubahan penting. Di antara perubahan itu adalah otonomi perguruan tinggi yaitu kebebasan akademik dan otonomi dalam bidang keilmuan, serta diversifikasi program perguruan tinggi.[29]
Otonomi perguruan tinggi tersebut memberi peluang kepada penyelenggara pendidikan tinggi untuk mengembangkan diri. Adapun peluang tersebut adalah sebagai berikut:[30]
a.       Pengelola perguruan tinggi memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusional masing-masing, yang mengacu kepada statuta yang disahkan oleh pemerintah. Tujuan institusional itu terpusat pada program studi yang dikembangkan, sebagai penjabaran dalam pengembangan bidang ilmu yang ditransper kepada mahasiswa.
b.      Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan kurikulum, sesuai dengan tujuan institusional itu. Ia kemudian tercermin dalam kurikulum yang berbasis kompetensi. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengembangkan program pendidikan akademi, pendidikan profesi dalam bidang ilmu yang menjadi disiplinnya dengan memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
c.       Setiap perguruan tinggi memiliki peluang menciptakan situasi belajar yang mendukung pelaksanaan da pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan.
d.      Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar mahasiswanya maupun terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Hal yang demikian itu memberi kemungkinan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam. Perguruan Tinggi itu memiliki otonomi untuk mengembangkan program pendidikan tinggi, baik pendidikan akademik dan profesional maupun pendidikan profesi dalam salah satu bidang ilmu agama Islam, khususnya bidang hukum Islam dan pranata sosial
9.      Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum
Salah satu tolok ukur hasilnya suatu pendidikan adalah banyaknya lulusan yang berkualitas, berhasil diterima di tempat kerja, bukan hanya berfokus pada jumlah mahasiswa yang berhasil lulus program pendidikan saja. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kurikulum perlu disusun, disempurnakan atau dikembangkan secara terus menerus berdasarkan hasil penelitian terhadap kualifikasi dari masing-masing profesi yang dibutuhkan oleh dunia kerja atas dunia usaha. Kurikulum yang diberikan atau yang disediakan oleh lembaga pendidikan untuk peserta pendidikan hendaknya selalui mutakhir, sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehingga tidak akan ketinggalan oleh kemajuan dunia kerja, di samping itu perlu penyediaan sarana dan prasana yang lengkap dan mutakhir. Pendidikan tinggi seharusnya kreatif mengadakan pengembangan/ penyempurnaan kurikulum yang bermanfaat bagi siswa walaupun tetap berdasarkan desain kurikulum basional yang baku dan berkompentisi standar nasional. Memformat kurikulum berbasis kempetisi perlu memperhatikan upaya meningkatkan mutu pendidikan. Perubahan ini berdampak terhadap kesiapan pendidikan tinggi mengimpelemtasikan di lapangan, sehingga mempunyai kempetisi untuk menghadapi tantangan globalisasi.[31]
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[32]
Dengan demikian , kurikulum itu mencakup unsur-unsur berikut:
a.       penetapan tujuan pendidikan;
b.      penetapan jangka waktu dan penahapan;
c.       isi bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran pada tiap tahap.
Di atas sudah dikemukakan bahwa pendidikan tinggi hukum, khususnya pada  tataran strata satu (S-1) dititikberatkan pada tujuan untuk menghasilkan calon pengemban profesi hukum yang terdidik dan berbudaya, yang mampu mengemban profesi hukum itu secara bermartabat dan dengan keahlian berkeilmuan, semuanya itu dilaksanakan dengan men-transfer Ilmu Hukum kepada peserta didik ( mahasiswa) .
Ilmu Hukum adalah disiplin ilmiah yang secara sistematik-logikal dan rasional-terargumentasi berupaya mengkompilasi, menginterpretasi dan mensistematisasi bahan-bahan hukum terbaru yang terarah untuk menawarkan penyelesaian yang paling akseptabel terhadap masalah hukum mikro maupun makro dalam kerangka tatanan hukum positif; semua kegiatan ilmiah tersebut tadi dilakukan dengan dan karena itu berintikan kegiatan berpikir yuridik.  Karena itu , kurikulum pendidikan tinggi hukum strata satu seyogianya berintikan upaya untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yuridik dan transmisi nilai-nilai kultural pengembanan profesi hukum.[33]
10.  Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Islam
Kurikulum merupakan kumpulan materi yang harus disampaikan oleh tenaga pengajar kepada peserta didik atau yang dipelajari oleh peserta didik.[34]
Kurikulum juga merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[35]
Berkaitan dengan kurikulum pendidikan tinggi hukum islam sebelum dan sesudah lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 nampak perbedaan dari segi penataan jurusan (terkhusus pada Fakultas Syari’ah dan Hukum). Dalam kurikulum 1988 pada Fakultas Syari’ah terdiri atas tiga jurusan, yaitu jurusan Peradilan Agama (PA), jurusan Perdata Pidana Islam (PPI/Muamalah Jinayah), dan jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).
Sedangkan berdasarkan kurkulum 1995 Fakultas Syari’ah terdiri atas jurusan atau program studi Ahwal al-Syakhsiyah (AS), jurusan Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH), jurusan program studi Jinayah Siyasah dan jurusan program studi Muamalah.[36] Bahkan setelah IAIN berubah menjadi UIN banyak program studi yang diadakan mulai prodi ilmu-ilmu kesehatan science dan teknologi hingga pada pembukaan prodi ilmu hukum dan manajemen.
Perubahan kurikulum di atas, sangat tepat dilakukan sekarang, bersamaan dengan perubahan kurikulum fakultas hukum di tanah air kita, sebab tujuan pendidikan hanya dapat dicapai melalui penataan dan pengembangan kurikulum. Hal tersebut merupakan inovasi yang sangat tepat mengingat pada kurikulum 1988, peradilan agama secara khusus lebih terkonsenterasi pada jurusan Peradilan Agama, sedang pada kurikulum 1995 tersebar merata pada setiap program studi.
Setelah pembentukan kurikulum tahun 1995, maka untuk pembentukan kurikulum selajutnya dialihkan kepada masing-masing perguruan tinggi dan fakultas masing-masing. Jadi Pihak perguruan tinggi maupun pihak fakultas memiliki wewenang untuk meningkatkan kompetensi para mahasiswanya dari segi kurikulum selama itu tidak menyimpang dari ketentuan yang ada, yaitu standar kurikulum nasional.
Beralih dari hal tersebut, kebijaksanaan mengenai penataan jurusan pada Fakultas Syari’ah merupakan kontribusi positif dengan harapan lulusan/alumni Fakultas Syari’ah, dapat diarahkan dan dipersiapkan menjadi tenaga yang profesional, keprofesionalannya paling tidak tercermin pada penguasaannya pada hukum formil dan materil yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Hal ini tergantung pada sumber daya itu sendiri (para sarjana hukum islam) sejauh mana mereka mengaplikasikan menu yang telah dituangkan dalam kurikulum tersebut.
Secara umum perguruan tinggi mempunyai dua misi yang saling berkaitan, yaitu misi mikro : menyiapkan generasi muda dengan jalan mengembangkan potensi pribadi setiap mahasiswa, dan misi makro memainkan pernan kepemimpinan atas kehidupan masyarakat setempat.[37] Hal tersebut sejalan dengan tri darma perguruan tinggi yang meliputi : pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam GBHN 1993 pembangunan pendidikan di perguruan tinggi juga diusahakan agar perguruan tinggi mampu menyelenggarakan pendidikan, melakukan penelitian dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Oleh karena itu misi pendidikan tinggi hukum Islam dalam upaya peningkatan kualitas peradilan agama dapat diproyeksikan dalam konteks tersebut.






BAB III METODE PENELITIAN
A.    Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian. Dari ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna yang berada dibalik bahan yang akan peneliti teliti.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbgaai metode ilmiah.[38]
Penelitian yang berbentuk penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang diupayakan untuk mengamati suatu permasalahan secara sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat obyek tertentu. Penelitian deskriptif ditujukan untuk memaparkan, menggambarkan, dan memetakan fakta-fakta berdasarkan cara pandang atau kerangka berfikir tertentu. Metode ini berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, efek yang terjadi atau kecenderungan yang tengah berkembang.[39]
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (field research). Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap kurikulum yang di terapkan dalam fakultas yang peneliti teliti. Kemudian peneliti analisis dengan berbagai cara sesuai dengan apa yang peneliti dapatkan.
B.     Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan (field research) terlebih dahulu harus menentukan lokasi penelitian yang telah ditentukan dengan segala pertimbangan-pertimbangan tertentu. Lokasi penelitian menunjukan dimana penelitian tersebut hendak dilakukan.[40]
Adapun lokasi penelitian yang dijadikan obyek penelitian oleh peneliti ialah di Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ) dan Fakultas Syariah  Institute Agama Islam Negeri Jember (IAIN Jember). Penentuan lokasi ini didasarkan bahwa lokasi tersebut memiliki fasilitas dan pelayanan yang mendukung dalam mengadakan penelitian.
C.    Subyek Penelitian
Penentuan sumber data atau informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin orang tersebut seorang penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti.[41]
Penggunaan teknik purposive sampling dalam penelitian ini, peneliti telah menentukan siapa saja yang akan dijadikan infoman untuk mengumpulan data-data penelitian.
 Adapun infoman dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.      Pembantu Dekan I bidang akademik Fakultas Syariah IAIN Jember
2.      Pembantu Dekan I bidang akademik Fakultas Hukum Universitas Jember
D.    Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian, maka data yang dikumpulkan haruslah representatif. Ketepatan dalam memilih metode memungkinkan diperolehnya data yang objektif dan sangat menunjang keberhasilan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambaran atau karya-karya monumental dari seseorang.[42] Adapun data yang diperoleh dari bahan dokumentasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Data yang berbentuk dokumen tertulis (kurikulum dari Fakultas Hukum Universitas Jember Dan Fakultas Syariah IAIN Jember).
2.      Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[43]
Teknik pengumpulan data dengan wawancara ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan keyakinan pribadi.[44]
Adapun dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin atau bebas terstruktur  yaitu peneliti secara langsung mengajukan pertanyaan kepada informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah di siapkan sebelumnya, namun selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi, pewawancara dituntut untuk bisa mengarahkan informan apabila ia ternyata menyimpang.
Adapun yang  diwawancarai dalam penelitian ini yaitu Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember, Pembantu Dekan I Fakultas Syariah Institute Agam Islam Negeri Jember, dosen-dosen dan para pakar hukum.
Secara teknik penelitiannya dalam skripsi ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan dan menjelaskan konsep serta teori yang digunakan oleh penulis sebagai landasan pembahasannya. Dengan demikian, dalam pembahasan teori yang digunakan secara fungsional merupakan media melakukan analisis untuk menjawab focus kajian yang telah di kemukakan pada uraian sebelumnya.
Adapun alasan penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, secara akademis sarjana hukum islam faham tentang hukum, baik dari segi hukum islam maupun hukum nasional. Baik dari segi teori maupun penerapannya. Kedua, telah di akui bahwa sarjana hukum islam sejajar di mata hukum dengan sarjana hukum. Sesuai dengan pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang 1945 yang intinya adalah equality before of the law (persamaan di mata hukum).[45] Jadi badan legislagi perlu memverifikasi kembali mengenai kompetensi sarjana hukum islam khususnya dimata Undang-Undang
E.     Analisa Data
Pada tahap ini dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan, karena ada bab khusus yang mempersoalkannya. Tetapi secara globalnya peneliti menggunakan analisis data Miles and Huberman yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas.
Selanjutnya proses menganalisis data ini terbagi dalam tiga komponen.
1.      Data Reduksi
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
2.      Data Display
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
3.      Conclusing Drawing
Selanjutnya langkah terakhir dalam analisis data adalah penarikan data dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dalam perumusan masalah masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan.
Berdasarkan metode penelitian yang diuraikan diatas. Diharapkan penulisan skripsi ini mampu memperoleh jawaban atas pokok permasalahan yang dibahas, sehingga memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah
F.     Keabsahan Data
Keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi. Trianggulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai macam cara, dan berbagai waktu.[46]Sedangkan untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, peneliti menggunakan trianggulasi sumber.
Trianggulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh  melalui beberapa sumber.[47]
Hal ini dicapai dengan jalan di antaranya:
1.   Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2.   Membandingkan apa yang dikatakan sumber yang satu dengan yang lainnya.
3.   Membandingkan keadaan dan perspektif seorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.
4.   Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
G.    Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahapan ini akan diuraikan proses pelaksanaan penelitian mulai dari penelitian pendahuluan, pengembangan desain, penelitian sebenarnya dan sampai pada penyusunan laporan.[48]
Untuk mengetahui proses penelitian oleh peneliti mulai awal hingga akhir maka perlu diuraikan tahap-tahap penelitian. Tahapan penelitian yang dilalui peneliti dalam proses penelitian adalah sebagai berikut:
1.   Tahap Pra Lapangan
Dalam tahapan penelitian pra lapangan terdapat enam tahapan. Adapun enam tahapan tersebut antara lain:[49]
a.    Menyusun Rancangan Penelitian
Pada tahapan ini peneliti membuat rancangan penelitian terlebih dahulu, dimulai dari pengajuan judul, penyusunan matrik penelitian yang selanjutnya dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan dilanjutkan dengan penyusunan proposal penelitian hingga diseminarkan.
b.    Memilih Lapangan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti harus terlebih dahulu memilih lapangan penelitian. Lapangan penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah Fakultas Syariah IAIN Jember dan Fakultas Hukum UNEJ.
c.    Mengurus Perizinan
Sebelum mengadakan penelitian, peneliti terlebih dahulu harus mengurus dan meminta surat perizinan, peneliti menyerahkan kepada pihak fakultas untuk mengetahui apakah diizinkan mengadakan penelitian atau tidak.
d.   Menjajaki dan Menilai Lapangan
Setelah memperoleh izin, peneliti mulai melakukan penjajakan dan menilai lapangan untuk lebih mengetahui latar belakang obyek penelitian, lingkungan pendidikan dan lingkungan informan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menggali data.
e.    Memilih dan Memanfaatkan Informan
Pada tahap ini peneliti mulai memilih informan untuk mendapatkan informasi yang dipilih.
f.     Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Setelah semua selaesai mulai dari rancangan penelitian hingga memilih informan, maka peneliti menyiapkan perlengkapan penelitian sebelum terjun ke lapangan yakni mulai dari alat tulis seperti pensil, buku catatan, kertas, dan sebagainya.
2.   Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap ini peneliti mulai mengadakan kunjungan langsung ke lokasi penelitian, namun di samping itu peneliti hendaknya mempersiapkan diri mulai dari pemahaman akan latar belakang penelitian, mempersiapkan fisik, mental dan sebagainya.
3.    Tahap Analisa Data
Pada tahap ini dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan, karena ada bab khusus yang mempersoalkannya.























Daftar Pustaka
B.Arief Sidharta. 2003. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan Tentang Hukum . Bandung: Citra Adytia Bhakti
Basri Cik Hasan. 1997.  Tatanan Masyarakat Indonesia dalam Peradilan Islam . Bandung : Remaja Rosdakarya
Hefni Ruri. 2013. Buku LUKS KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)  dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jogjakarta: Harmoni,
Ishaq. 2012  DASAR-DASAR ILMU HUKUM, Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil C.S.T, SH dan  Christine S.T . Kansil. 2011., Pengantar  Ilmu Hukum  Indonesia  Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mahmud. 2011.  MetodePenelitianPendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia
Marzuki Peter Mahmud. 2009.  Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Grup.
Moleong, Lexy J.  2009. MetodologiPenelitianKualitatif . Bandung: Rosda karya
Nasution Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju
Perangin Effendi, Abu Dinar. 1992.  Anda Bermaksud Menjadi Sarjana Hukum?. Jakarta: rajawali press.
Purnadi Purbacaraka. 1995.  Penggarapan Disiplin Hukum Dan Filsafat Hukum Bagi Pendidikan Hukum Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Salman Otje & Anton F. Susanto. 2005.  Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama
Soekanto Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3 Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Soemitro Ronny Hanitijo.  1988. Metode Penelitian Hukum dan jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia
Sukmadinata Nana Syaodih. 2014. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun STAIN Jember. 2013. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Jember: STAIN Jember Press
Wisnubroto Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam beberapa aspek kajian Jogjakarta : Penerbitan Universitas ATMA Jaya Jogjakrta.
Peraturan Perundang-Undangan:
Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 (3)
Secretariat Negara RI, Undang-undang Dasar 1945
Secretariat RI, Undang-Undang  No.20 Tahun 2003 Tentang  Sistem Pendidikan Nasional
Jurnal:
Idris  Irfan. 2010.REFORMASI HUKUM ISLAM DAN MISI PERGURUAN TINGGI HUKUM”. Makasar: Ar-Risalah
Website:
Imas Rosiawati “PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DI INDONESIA SUATU ANTISIPASI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI” (http://ejournal.kopertis4.or.id/file/PENGEMBANGAN%20PENDIDIKAN%20TINGGI.pdf 17 Desember 2015)
Irfan Idris, Jurnal Hukum Reformasi Hukum Islam dan Misi Perguruan Tinggi Hukum (http://wikapuspitasari19.blogspot.co.id/2013/04/jurnal-kurikulum-dan-pendidikan.html 06 Januari 2016)




[1] Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam beberapa aspek kajian (Jogjakarta : Penerbitan Universitas ATMA Jaya Jogjakrta, 1997), 1.
[2] Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), 244.
[3] Achmad Cholily, wawancara, Jember , 17 April 2015.
[4] Secretariat Negara RI, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D Ayat (1)
[5]Tim Penyusun IAIN Jember, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jember: IAIN Jember Press, 2015), 37.
[6]Ibid., 38.
[7] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 38.
[8] Effendi Perangin, Abu Dinar, Anda Bermaksud Menjadi Sarjana Hukum?, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), 6
[9]  Ibid,. 6
[10] Eddy Damian, “Profesionalisme Sarjana Hokum Dikaitkan Dengan Pendidikan Hokum”, Majalah Hokum Nasional  Nomor 2  (2011), 47. 
[11] Bismar  Nasution, “Seminar  Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan Sarjana Hukum Yang Kompeten Dan Profesional Universitas Sumatera Utara” https://bismar.wordpress.com/page/7/  15 Januari 2016.
[12] Eddy Damian, “Profesionalisme Sarjana Hokum Dikaitkan, 12.
[13] Eman Sulaeman,  Dalam  Workshop Advokasi yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN JEMBER, 13 Nopember 2015.
[14] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),35 dalam Jurnal Ahkam Vol. XII, No. 2 Muhammad Iqbal, Politik Hukum Hindia Belanda, (IAIN Sumatera Utara: 2012), 119.
[15] Van Vollenhoven memang sering dipandang sebagai penemu hukum adat. Ia menulis banyak artikel dan buku tentang hukum adat, di antaranya adalah Miskenningen van het Adatrecht (Salah Paham dalam Bidang Pengetahuan Hukum Adat) (1909), Het Adatwetboekje voor heel Indie (Buku Kecil Hukum Adat untuk Seluruh Indonesia) (1910), Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) sebanyak tiga jilid (1918-1933), De Indonesier en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya) (1919), dan Ontdekking van het Adatrecht (Penemuan Hukum Adat) (1928).
[16] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 38.
[17] C.S.T Kansil, SH dan  Christine S.T . Kansil, Pengantar  Ilmu Hukum  Indonesia  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011),  3
[18] Eddy Damian, “Profesionalisme Sarjana Hokum Dikaitkan, 14.
[19] Wahyu Widiana, “Seminar Nasional Bertema Menatap Masa Depan Output Syariah dalam Dunia Kerja” http://www.pa-metro.go.id/pengumuman-menu-kiri-148/473-dirjen-badilag-alumni-fakultas-syariah-harus-optimis.html 16 Mei 2016.
[20] Otje Salman & Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali  (Bandung: Refika Aditama,  2005), 152
[21] D.F. Carvers, Legal Education in Berman, Talks on American Law, Harvard, Voice of America, 1972, dalam Otje Salman & Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung,: 2005),  153.
[22] B.Arief Sidharta, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan Tentang Hukum (Bandung : Citra Adytia Bhakti, 2003) 505.
[23]Dey Ravena,  WACANA KONSEP HUKUM PROGRESIF
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”, (Jurnal Wawasan Hukum, Universitas Islam Bandung, 2010), 157.
[24] Secretariat RI, Undang-Undang  No.20 Tahun 2003 Tentang  Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat (1)
[25] Ujang Charda S “PERANAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DALAM
MEMENUHI TUNTUTAN DUNIA KERJA” , (Jurnal Wawasan Hukum Vol  II, Universitas Subang (UNSUB), Subang, 2011), 328.
[26] Purnadi Purbacaraka,  Penggarapan Disiplin Hukum Dan Filsafat Hukum Bagi Pendidikan Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 4
[27] C.S.T Kansil, SH dan  Christine S.T . Kansil, Pengantar  Ilmu Hukum, 2.
[28] Imas Rosidawati “PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DI INDONESIA SUATU ANTISIPASI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI” http://e-journal.kopertis4.or.id/file/PENGEMBANGAN%20PENDIDIKAN%20TINGGI.pdf (17 Desember 2015)
[29] Irfan Idris, Jurnal Hukum Reformasi Hukum Islam dan Misi Perguruan Tinggi Hukum http://wikapuspitasari19 /2013/04/jurnal-kurikulum-dan-pendidikan.html (06 Januari 2016)
[30] Cik Hasan Basri, Tatanan Masyarakat Indonesia dalam Peradilan Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997),  77-78.
[31] Ujang Charda S “PERANAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DALAM
MEMENUHI TUNTUTAN DUNIA, 334.
[32]  Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 (3)

[33] B.Arief Sidharta, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan Tentang Hukum IV, (Citra Adytia Bhakti: Bandung, 2003, hlm. 505.
[34] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 4
[35] Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 (3)
[36] Lihat Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI., Topik Inti Kurikulum Nasional IAIN Fakultas Syari’ah (Jakarta : Departemen Agama 1995), 1-2.
[37] Talisiduhu Uraha, Managemen Perguruan Tinggi (Cet. I ; Jakarta : Bina Aksara, 1998),  49 dalam Jurnal Hukum Irfan Idris, “REFORMASI HUKUM ISLAM DAN
MISI PERGURUAN TINGGI HUKUM” (Makasar: Ar-Risalah, 2010), 362-363
[38]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda karya 2009), 6.
[39] Mahmud ,Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia,2011),100.
[40] Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan, 43.
[41]Sugiono,Metode Penelitian Pendidikan,300.
[42] Ibid., 240.
[43]Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 186.
[44]Sugiono,Metode Penelitian Pendidikan,317.

[45] Secretariat Negara RI Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 (1)
[46] Sugiono, Metode Penelitian, 372.
[47] Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 330.
[48] Tim Penyusun,  Buku Pedoman Penulisan, 44.
[49] Moleong,  Metodologi Penelitian Kualitatif, 127-133.

Komentar